BREAKING NEWS
latest

Advertisement

Ketegangan Etnis dan Teologis di Abad Pertengahan Al-Andalus (Pemikiran Syu'ubiyya Ibnu Gharsiya)

DEFINISI SYU’UBIYYA
Nama gerakan ini berasal dari penggunaan kata Al Quran yaitu “شعوب” (shu'ūb) berarti: bangsa.
Q.S Al-Hujurat: 13 sering digunakan oleh umat Islam untuk melawan prasangka diantara orang yang berbeda;
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير

"Wahai manusia! Kami menciptakan kamu dari satu (pasangan) laki-laki dan perempuan, dan membuatmu menjadi bangsa (shu'ūb) dan suku (qabā'il), sehingga kamu dapat saling mengenal (bukan agar kamu saling membenci). Sesungguhnya orang yang paling terhormat bagimu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui dan sangat teliti (dengan semua hal). " (Jamshidian Tehrani, Jafar. 2014: 3)
Syu’ubiyya dikenal sebagai gerakan yang mewakili perjuangan antara elemen Arab dan elemen non-Arab. Sebagai sentimen, gerakan ini berkembang pada awal periode Umayyah dan melewati tiga tahap:
1)    Tahap taswiyyah atau paritas, di mana Muslim non-Arab menganjurkan bahwa semua Muslim, dengan asal apa pun mereka berada, adalah sama dan sebaya; terlepas dari semua perbedaan sebelumnya, Islam telah membuat mereka semua sebagai saudara.
2)    Tahap tafdil atau preferensi, di mana orang-orang non-Arab menegaskan bahwa sejarah mereka di masa lalu lebih mulia daripada sejarah orang-orang Arab, dan jika bukan karena Islam, orang-orang Arab tidak akan mencapai kemuliaan yang sudah ada.
3)    Tahap syu'ubiyyah atau antagonisme rasial, di mana orang-orang non-Arab berusaha untuk menghancurkan dominasi Arab dan untuk memulihkan supremasi politik mereka sendiri yang telah hilang akibat ekspansi Arab di negeri-negeri peradaban kuno. (Omar A. Farrukh. 1964: 52-53)

SYU’UBIYYA Di IRAN
Ketika digunakan sebagai referensi untuk gerakan tertentu, istilah ini merupakan bentuk respon Muslim Persia terhadap Arabisasi Islam yang berkembang pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi di Iran. Ini terutama berkaitan dengan pelestarian budaya dan melindungi identitas Persia. Dampak yang paling menonjol dari gerakan ini adalah kelangsungan hidup Bahasa Persia hingga saat ini. Namun, gerakan ini tidak pernah bergerak ke arah kemurtadan dan memiliki dasar dalam pemikiran Islam tentang persamaan ras dan bangsa.
Pada akhir abad ke-8 dan awal ke-9 M, terjadi kebangkitan identitas nasional Persia. Ini terjadi setelah bertahun-tahun penindasan oleh kekhalifahan Abbasiyah. Gerakan ini meninggalkan catatan besar dalam bentuk sastra Persia dan bentuk puisi baru. Sebagian besar yang berada di belakang gerakan ini adalah Persia, tetapi beberapa referensi menyebutkan bangsa Mesir, Berber, dan Aram. (Enderwitz, S, 1997: 513-14).

SYU’UBIYYA Di AL-ANDALUS
Dua abad setelah berakhirnya gerakan Syu'ubiyyah di timur, bentuk lain dari gerakan ini muncul di Spanyol Islam dan dikendalikan oleh Muwallad atau Muladi (Muslim keturunan lokal atau campuran Arab, Berber, dan penduduk semenanjung Iberia yang tinggal di Andalus selama Abad Pertengahan). Hal itu dimotori terutama oleh Berber, termasuk diantaranya banyak kelompok budaya Eropa, seperti Galicia, Catalans, (dikenal pada waktu itu sebagai Frank), Calabrians dan Basques.
Sebuah contoh penting dari literatur Syu'ubi adalah surat (risalah) yang ditulis oleh penyair Andalusia, Ibnu Gharsiya. Namun, menurut Encyclopedia of Arab Literature, surat ini tidak terlalu penting, dan beberapa eksponennya cenderung mengulangi klise yang diadopsi dari Timur Islam sebelumnya, mis., Iran. (Max Diesenberger, 2003: 346)


KOMPOSISI ETNIS DAN RASIAL DI ANDALUS
Ciri khas masyarakat Andalus adalah keanekaragaman ras dan etnis penghuninya satu sama lain. Selain orang Arab dan Berber dari Afrika Utara yang masuk ke Andalus sebagai kekuatan militer pada saat penaklukan dan setelahnya, sebagian besar penduduknya terdiri dari penduduk lokal. Karena campuran orang Arab dengan penduduk asli dan kebijakan Islam yang dipromosikan oleh penguasa Umayyah, banyak penduduk lokal masuk Islam untuk mencapai status dan hak istimewa yang setara dengan orang Arab, kemudian mereka dikenal sebagai Musalama atau Mosalemah (neo-Muslim). Anak cucu keturunan Mosalemah disebut Muwallads. Secara bertahap, jumlah kelompok ini meningkat sedemikian rupa sehingga mereka membentuk populasi yang cukup besar dari penduduk Andalusia. Mereka adalah anggota masyarakat kelas menengah atau rendah dan sering menangani bidang pekerjaan pertanian atau industri. Selain itu, kebanyakan mereka menempati pinggiran kota atau daerah pedesaan.
Namun, beberapa penduduk setempat tidak memeluk Islam dan mempertahankan agama Kristen mereka. Orang Arab menyebut kelompok ini sebagai non-Arab. Secara bertahap, karena penyebaran Arabisme dan hubungan sosial antara orang Arab dan penduduk asli Andalusia, sejumlah besar orang non-Arab menerima bahasa Arab, budaya, dan adat istiadat umat Islam. Kelompok ini disebut sebagai Mozarabsatau Musta’rib dalam masyarakat Andalusia. Selama abad ke-9 dan ke-10 Masehi, populasi non-Arab di Andalusia menurun karena konversi ke Islam atau imigrasi ke kediaman Kristen Utara. Selain ras ini, kelompok lain yang memainkan peran penting dalam pengembangan pemikiran Syu'ubiyya di Andalus adalah Saqaliba, jumlah mereka meningkat selama masa pemerintahan Abdul Nasser (912-962 M) dan putranya, Al-Hakam II ( 962-972 AD).
Kehadiran berbagai elemen sosial yang beragam di komunitas Andalusia menyebabkan tekanan etnis-rasial. Yang memperburuk kompetisi rasial ini adalah kebijakan dan praktik diskriminatif orang Arab dan penguasa Umayyah terhadap masyarakat adat, terutama Muwallads yang merupakan populasi mayoritas Andalusia. Dengan masuk Islam, Muwallads menuntut persamaan hak dengan orang Arab.
Namun demikian, diskriminasi yang diberlakukan oleh penguasa Arab menghambat kemajuan sosial, ekonomi, dan politik. Kondisi tersebut diikuti oleh reaksi keras Muslim lokal dalam bentuk perjuangan bersenjata di awal, dan kemudian dalam bentuk kegiatan Syu'ubiyya melawan orang Arab, untuk mendapatkan hak-hak mereka yang hilang. (Ali Mir, 2016: 134)


RISALAH IBNU GHARSIYA
·      Tentang Ibnu Gharsiya
Abu ‘Amir ibnu Gharsiya, dilahirkan sebagai seorang Kristen di negara Basque (Euskadi). Ia ditangkap dan dibesarkan di bawah perlindungan dan pengawasan Mujahid al-Amiri (w. 1044 M). Setelah masuk Islam, ia memperoleh status dan posisi tinggi di pengadilan Mujahid dan ia pun mengambil alih posisi sebagai penulis naskah. Pada periode ini, ia menulis risalah tentang keunggulan dan keagungan non-Arab daripada Arab yang disebut-sebut sebagai teks Syu'ubiyya yang paling penting di Andalus.
Tulisan risalah itu bertepatan dengan penurunan pemerintahan Umayyah dan munculnya pemerintahan feodal non-Arab di Andalus. Kondisi ini memberikan dorongan tambahan bagi Ibnu Gharsiya untuk mengembangkan risalahnya dan deklarasi ketidakmampuan Arab dalam membangun keadilan sosial berbasis masyarakat.
Antara 1051 dan 1056 M, Ibnu Gharsiya menulis surat menentang kekuasaan Arab di Al-Andalus, yang secara bersamaan memuji dan memuliakan Muslim non-Arab, seperti Berber, mualaf Visigoth, Slavia dan Romawi. Namun karyanya itu tidak luput dari anotasi yang menyebutnya sebagai kekerasan, hinaan, dan serangan terhadap orang-orang Arab, bahkan bertentangan dengan tradisi yang berlaku.
Surat Ibnu Gharsiya membahas beberapa pertanyaan yang paling mendasar dan penting dalam komunitas Muslim Al-Andalus pada saat itu, seperti hubungan antara orang Arab dan Berber dengan Muwalladun. Ibnu Gharsiya menekankan bahwa interpretasi Islam yang baik juga harus bernilai bagi Muslim non-Arab. Surat ini melambangkan pengadopsian ideologi Syu'ubi Timur oleh banyak Muslim pribumi Andalusia, yang menentang eksklusivitas Arab.

·      Fragmen Risalah Ibnu Gharsiya
Risalah syu’ubi-nya (sekitar 1050 M) dengan keras mengkritik para penguasa Denia karena kesombongan etnis dan asal-usul mereka. Berikut adalah contoh fragmen yang terdapat dalam risalah Ibnu Gharsiya:

“Ibumu, hai orang Arab, adalah budak ibuku[1]. Jika Anda menyangkal ini, Anda akan dianggap tidak adil. Jangan berlagak baik, kami tidak pernah merawat monyet dan menenun mantel, tidak pula makan tumbuhan liar; tidak putus hubungan Anda dengan Hajar; Anda adalah budak dan pelayan...
[Orang-orang non-Arab] jelas, bukan penggembala unta atau penggali yang menggarap tanah; mereka raja besar, bukan pembakar kotoran unta untuk bahan bakar .... Orang-orang non-Arab ini adalah pejuang, bukan penjaga cabang-cabang palem atau penanam tunas palem ...
... minuman mereka adalah anggur, dan makanan mereka dipanggang, bukan seteguk kacang colocynth di padang pasir atau telur kadal yang diambil dari sarang mereka.”

(Monroe, 1970: 24)


KESIMPULAN
Pandangan beberapa peneliti Arab, bahwa melihat isu Syu'ubiyya di Andalus terbatas pada risalah Ibnu Gharsiya tampaknya tidak akurat, karena dalam konflik rasial dengan orang Arab, beberapa Muwallads seperti Alabasi, penyair, dan hakim Vashgh diberikan kesempatan untuk berkecimpung dalam struktur sosial dan politik pada masa pemerintahan Abdurrahman III dan putranya, Al-Hakam II. Namun, secara bertahap, dengan kelemahan pemerintahan Umayyah dan pembentukan negara-negara non-Arab, terutama Saqaliba di beberapa wilayah Andalus, pemikiran Syu'ubiyya Muwallads berubah dari mode pertahanan menjadi serangan, sindiran, dan ekspresi cacat orang Arab, sehingga memuncak dalam risalah Ibnu Gharsiya.


References:
       Ali, Muhammad Kurdi. Rasail al-Bulagha’, ed. 4, (Cairo, 1954).
    Ali Mir, Mohammad. “Shu’ubiyya Thoughts of Muwallads in Andalusia: The Causes and Contexts,” Journal of History Culture and Art Research. Vol. 5 (Karabuk University, 2016).
 Diesenberger, Max; Richard Corradini; Helmut Reimitz. The construction of communities in the early Middle Ages: texts, resources and artefacts. (Brill, 2003).
      Enderwitz, S. "Shu'ubiyya". Encyclopedia of Islam. Vol. IX (1997), pp. 513-14.
      Jamshidian Tehrani, Jafar. Shu’ubiyya: Independence Movements in Iran, (2014).
      Omar A. Farrukh, “Arabism: (A Concise And Objective History From 850 B.C. To Early 1963 A.C.),” Islamic Studies. Vol. III (Islamabad: International Islamic University, 1964).
      The Shu'ubiyya in al-Andalus. The risala of Ibn Garcia and five refutations (University of California Press 1970), translated with an introduction and notes by James T. Monroe.



[1] Ia menekankan penghinaan terhadap asal usul Arab sebagai keturunan Siti Hajar, ialah bekas budak Nabi Ibrahim dan istrinya Sarah. Pembahasan ini telah lama menjadi topik perdebatan lintas agama, bahkan antara Muslim Arab dan Muslim non-Arab, daripadanya muncul banyak cerita yang mendiskreditkan Siti Hajar. Seperti, turunan Bani Israil menganggap diri mereka lebih mulia dan terhormat karena lahir dari istri yang sah, yaitu Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim yang beretnik Israel, sedangkan Nabi Ismail lahir dari ibu mantan budak. Padahal, Allah telah memuliakan Siti Hajar dan mengangkat derajatnya hingga menjadi ibu dari Nabi Ismail dan Nabi Muhammad SAW, seperti yang diutarakan oleh Ibnu Qutaybah dalam risalahnya “Kitab al-Arab” atau “Ar-Radd ‘ala as-Syu’ubiyyah”. Lihat: Ali, Muhammad Kurdi. Rasail al-Bulagha’, (Cairo, 1954), h. 352. 





« PREV
NEXT »

No comments