BREAKING NEWS
latest

Advertisement

Dari Bayt al-Hikmah di Baghdad Hingga Madrasah Terjemah di Toledo



Sejumlah karya klasik para filsuf dan ilmuwan kuno telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab selama Zaman Keemasan Islam di Timur seperti yang berasal dari sekolah Neoplatonisme, Aristoteles, Hippocrates, Galen, dan Ptolemy, serta karya-karya para filsuf dan ilmuwan kuno dari Persia, India, dan Cina (Gutas, 1998). Hal ini memungkinkan populasi berbahasa Arab pada saat itu (baik di Timur, Afrika Utara dan semenanjung Iberia) untuk belajar tentang banyak disiplin klasik kuno yang umumnya tidak dapat diakses oleh orang-orang Kristen di Eropa Barat. Justru para ilmuwan berbahasa Arab di negara-negara Muslim Timur seperti Ibn Sina, al-Kindi, al-Razi, dan lainnya, telah menambahkan karya-karya signifikan terhadap pemikiran kuno itu.

Selama abad ke-9 Masehi, beberapa khalifah dari Dinasti Abbasiyah, yaitu Al-Mamun (813–833) dan penerusnya adalah pendukung besar kebangkitan intelektual awal di Baghdad (sekarang Irak). Selama periode ini banyak manuskrip filosofis dan ilmiah Yunani Kuno dipelihara di Akademi Hipokrates Gundishapur[1]. Lalu manuskrip-manuskrip tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari berbagai bahasa, seperti Yunani Kuno, Cina, Sanskerta, dan Persia (Vatle, 1991, pp. 3657-3662).

Diawali dengan pembangunan Bayt al-Hikmah di Baghdad oleh Khalifah al-Ma'mun, sebuah lembaga pendidikan di mana para ahli Muslim dan non-Muslim bersama-sama mengumpulkan pengetahuan dunia tidak hanya melalui tulisan asli tetapi juga melalui terjemahan. Mungkin penerjemah yang paling terkenal dan rajin pada zaman itu ialah Hunayn ibn Ishaq (w. 873 M), yang dikenal di Barat dengan nama Latin "Joannitius" (Osman, 2012, pp. 161-175). Ia disebut sebagai “Syekh Para Penerjemah”, dan dilaporkan telah menguasai empat bahasa utama pada masanya: Yunani, Syria, Persia, dan Arab. Hunayn dikreditkan dengan sejumlah besar terjemahan, mulai dari karya-karya kedokteran, filsafat, astronomi, fisika, dan matematika, hingga sihir dan keunikan.

Antara tahun 632 s/d 732 M., Islam menyebar dari selatan Hindustan ke Al-Andalus (mencakup juga Septimania, Selatan Perancis). Pada sepertiga pertama abad ke-10, Al-Andalus diperintah oleh Kekhalifahan Umayyah Cordoba, dengan cepat pengaruh budayanya meningkat hingga menyaingi Baghdad, Damaskus dan Kairouan (masing-masing saat ini adalah Irak, Suriah, dan Tunisia). 

 

Sekolah Terjemahan Toledo

Toledo adalah ibu kota Kerajaan Visigoth, dan setelah penaklukan Islam pada 97 H /715 M, ia menjadi pusat budaya multibahasa dan memiliki kepentingan sebelumnya sebagai pusat pembelajaran di bawah pemerintah Muslim.

Kota Toledo kemudian menjadi ibu kota salah satu negara al-Thawaif[2] pada abad ke-5 H /11 M, yaitu Daulah Bani Dzun-Nun. Lalu pada tahun 487 H /1085 M raja Alfonso VI dari Kastilia berhasil menaklukkan dan merebutnya dari kekuasaan Sultan Al-Qadir Billah Yahya bin Dzun-Nun. Sejak saat itu, kota metropolis ini telah menjadi ibu kota resmi Kastilia, tetapi penduduknya (mengingat toleransi yang diterapkan Alfonso VI) adalah campuran dari orang-orang Kristen Spanyol (Mozarabs), Arab Muslim dan Yahudi yang masih memelihara agama mereka atau telah konversi agama memeluk Kristen.

Sekitar setengah abad setelah Toledo jatuh ke penguasa Spanyol, seorang biarawan bernama Raimundo de Sauvetat, diangkat menjadi uskup agung Toledo pada tahun 519 H /1125 M (Al-Warakili, 1994, pp. 34-35; Cheikha, 1994, p. 35). Di awal masa jabatannya, ia memulai upaya untuk mendirikan Sekolah Penerjemah Reguler di perpustakaan Katedral Toledo (Bahasa Spanyol: Escuela de Traductores de Toledo; Bahasa Arab: مدرسة طليطلة للمترجمين) dan memimpin tim penerjemah yang mencakup kaum Mozarabs, warga Kristen lokal Toledo, cendekiawan Yahudi, guru sekolah dan sejumlah biarawan. Mereka menerjemahkan banyak karya ilmiah berbahasa Arab ke Bahasa Castillan (sering disebut Castellano), dan kemudian dari Bahasa Castillan ke Bahasa Latin atau Yunani sebagai bahasa resmi gereja. Dalam beberapa kasus, mereka boleh menerjemahkannya secara langsung dari Bahasa Arab ke Bahasa Latin.

Dr. Jomâa Cheikha, Direktur utama Jurnal d’Études Andalouses dalam artikelnya (1994: 39) menyebutkan bahwa tahap pertama pendirian sekolah terjemah ini ditandai dengan terjemahan pertama karya Yahya bin Dureid al-Isybili (di Barat dikenal dengan nama John of Seville atau avendeut atau Johannes Hispalensis), seorang Yahudi yang dipabtis oleh Raimundo ke agama Katolik. Ia lah penerjemah inti teks-teks Arab ke Bahasa Castillan karena menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik, sementara Domingo Gondisalve (Dominicus Gundissalinus) kemudian menerjemahkannya dari Bahasa Castillan ke Bahasa Latin, dan pada saat yang sama mereka berusaha untuk menyelaraskan isi teks terjemahan dengan ideologi dan kepercayaan Kristen.

Dominicus Gundissalinus dianggap sebagai Direktur pertama yang ditunjuk oleh Sekolah Penerjemah Toledo, dimulai pada tahun 1180 Masehi (Pidal, 1951, pp. 363-380). Meskipun mulanya harus bergantung pada Yahya al-Isybili untuk semua terjemahan dari Bahasa Arab, namun belakangan ia berhasil menguasai Bahasa Arab dengan cukup baik untuk menerjemahkannya sendiri. Tidak seperti rekan-rekannya, ia berfokus secara eksklusif pada filsafat, menerjemahkan karya-karya Yunani dan Arab serta komentar-komentar para filsuf Muslim sebelumnya di semenanjung. Di antara terjemahan-terjemahan pentingnya adalah “Fons Vitæ (Meqor Hayyim)” oleh filsuf Yahudi Ibn Gabirol. Gundissalinus juga menerjemahkan beberapa karya filsuf Muslim utama, yaitu Avicenna dan Al-Ghazali. Dia diketahui sering menghilangkan bagian-bagian dan menambahkan komentarnya sendiri, daripada setia pada teks aslinya.

Sedangkan topik karya yang diterjemahkan oleh Yahya al-Isybili terutama astrologi, astronomi, filosofis dan medis. Gaya bahasa penerjemahan Yahya atau John of Seville sangat diakui oleh para sarjana karena kecenderungannya untuk menerjemahkan kata demi kata, sambil terus mempertahankan sintaksis bahasa asli dan struktur tata bahasa orisinal.

Adapun metode penerjemahan yang dipakai adalah terjemahan lisan ke dalam bahasa Latin oleh seorang Mozarabs, Muslim atau Yahudi di depan seorang imam Katedral Toledo atau seorang ahli Latin yang berpengetahuan, lalu pada gilirannya, menuliskan apa yang telah didengar dengan Bahasa Latin yang sesuai (Arráez-Aybar, 2015, pp. 23-24). Terjemahan semacam itu ditulis di atas kertas, sebagaimana telah diperkenalkan oleh orang-orang Arab ke Andalus selama abad ke-11.


Sedangkan tahap kedua dari sekolah terjemah Toledo, ditandai dengan kedatangan Gérard de Crémone dari Italia (w. 583 H /1187 M) ke Toledo, ia dianggap sebagai salah satu penerjemah paling produktif di sekolah ini. Lebih dari delapan puluh buku telah diterjemahkan dan didokumentasikan, diantaranya yang paling terkenal adalah kitab “Al-Tasrif” karya Abu al-Qasim al-Zahrawi, “Al-Qanun” karya Ibn Sina, dan “Al-Manshuri” karya al-Razi. Melalui terjemahannya ini lah Ibn Sina memperoleh ketenaran di Eropa sehingga bangsa Eropa mengetahui doktrin ideologis dan filosofis bertuliskan nama Ibnu Sina itu dengan istilah Avicennisme.

Dengan demikian, Sekolah Toledo dalam fase kedua, telah membuka pintu lebar-lebar bagi Eropa untuk mengonsumsi keilmuan Arab, dari sini lah kebangkitan modern dimulai. Tentu, jika bukan karena Raimundo yang mengawali berdirinya sekolah tersebut, Eropa pasti akan mengasingkan semua yang berkaitan dengan orang-orang Arab.

Tahap selanjutnya, kegiatan penerjemahan tidak hanya dilakukan di kota Toledo, tetapi merambat ke kota-kota lain, diantaranya adalah Michael Scotus (w. 1232 M), salah satu intelektual dan poliglot terpenting di masanya. Ia mempelajari Bahasa Arab dengan cukup baik di Toledo, kemudian dipanggil menghadap Raja Frederick II dari Kerajaan Sisilia (sekarang Italia), dan atas titah raja, ia menerjemahkan buku-buku karya Aristoteles, komentar orang-orang Arab terhadap pemikirannya dan buku-buku karya Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averroes). Kemudian abad ke-13 M penerjemahan dilanjutkan oleh Marcos dan Miguel Escoto sampai masa pemerintahan Alfonso El Sabio (650 H /1252 M – 683 H /1284 M). Alfonso diketahui sangat memotivasi penerjemahan ilmiah dan historis hingga mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi. (Cheikha, 1994, h. 41)

Akhir abad ke-7 H /13 M, tidak sampai stagnan gerakan penerjemahan dan translasi di Toledo, malahan muncul lembaga dan pusat-pusat penerjemahan lain yang aktivitasnya lebih besar dan lebih kuat. Bagi beberapa sejarawan mengira bahwa gerakan ini telah berakhir di kota Toledo, padahal semakin berkembang ke kota-kota lain seperti Montpellier, Paris, Chartres, Toulouse dan Reims. Sebagaimana banyak penerjemah muncul di pusat-pusat Anglo-Saxon seperti Adelard of Bath, Robertus Ketenensis, Alfredus Anglicus (Alfred of Sareshel), Daniel of Morley dan Petrus Alphonsi.

Di lembaga-lembaga ini, terjemahannya beragam, tidak hanya ke Bahasa Latin, tetapi juga ke Bahasa Ibrani dan Rumania. Juga, para penerjemah dari golongan cendekiawan mulai menulis buku-buku dengan topik yang sama seperti buku-buku yang diterjemahkan, yaitu dalam bentuk ringkasan, komentar maupun eksposisi atau uraian.

Gambar Sekolah Penerjemah Toledo saat ini berlokasi di Universidad de Castilla-La Mancha di Toledo 

Gambar perpustakaan Sekolah Penerjemah Toledo dari dalam



Terjemahan hikayat Kalilah dan Dimnah

Gambar buku At-Tashawwur al-Awrubby-nya ar-Razi diterjemahkan oleh Gérard de Cremone


Terjemahan tabel astronomi oleh Alfonso X

Terjemahan kitab Al-Jawahir (Lapidario)




[1] Academy of Gundishapur, adalah sekolah yang dibangun oleh Nestorian (kaum bidah atau heresi Kristen yang diasingkan oleh Kaisar Bizantium bernama Zeno) pada tahun 489 M di Persia (saat ini Iran). Di akademi tersebut banyak naskah Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Syria, diantaranya adalah dua belas buku Hippocrates of Cos, Bapak Kedokteran Yunani yang hidup antara tahun 460 SM – 370 SM, dan tiga puluh tujuh buku Aelius Galenus, seorang dokter, ahli bedah dan filsuf dari Kekaisaran Romawi, hidup antara tahun 129 – 199 M.

[2] Adalah kelompok negara-negara kecil, dipimpin oleh amir-amir (Muluk al-Thawaif) yang memerintah wilayah-wilayah Islam di Spanyol dan Portugal, setelah keruntuhan Kekhalifahan Umayyah di Kordoba pada tahun 1031.






Referensi:

 

Al-Warakili, Hasan. Yaqutat al-Andalus Dirasat fi al-Turath al-Andalusi, Lebanon, 1994.



Arráez-Aybar, Luis A., “Toledo School of Translators and their influence on anatomical terminology” in Annals of Anatomy, 2015.

 

Cheikha, Jomâa. “Daur Madrasat at-Tarjamah bi Thulaithulah fi Naql al-‘Ulūm al-‘Arabiyyah wa bittāli fi Nahdhah Awrubba”, in Revue d’Etudes Andalouses, Vol. 11, Tunis, 1994.

 

Gutas, Dmitri. “Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement” in Baghdad and Early 'Abbasaid Society, London, 1998.

 

Osman, Ghada. “The sheikh of the translators: the translation methodology of Hunayn ibn Ishaq”, in The Journal of the American Translation and Interpreting Studies Association, Vol. 7, 2012.

 

Pidal, Gonzalo Menéndez. Cómo trabajaron las escuelas alfonsíes. Mexico, D.F.: Nueva Revista de Filología Hispánica, 1951. ISSN 0185-0121.


Vatle, A., 1991. “Medical assimilation processes in the Middle Ages: From Gundishapur to Toledo”, Tidsskr Nor Laegeforen 111.

Perbedaan Kebijakan Penguasa Muslim dengan Penguasa Kristen Spanyol

Begitu Spanyol-Islam (Andalus) ditaklukkan, pribumi Gothik berubah status menjadi zimi, mereka diberi keleluasaan dalam beragama, hanya saja tetap tunduk pada pemerintahan Moor dan wajib membayar upeti.

Dengan toleransi yang didapat, lama kelamaan mereka berintegrasi bahkan banyak yang konversi ke agama Islam dengan sukarela. Sementara, mereka yang masih memeluk Kristen dipanggil dengan istilah"Mozarabs" adalah kafir zimi yang tunduk kepada pemerintah Islam, namun mereka telah melebur dan terpengaruh dengan budaya dan bahasa Arab. Kenyamanan yang dirasakan Mozarabs lalu pupus ketika tampuk pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Al-Moravid, karena sebab fanatik dengan Islam.



Dari sini, bisa kita lihat perbedaan penaklukan yang dilakukan oleh Muslim dan Kristen Spanyol. Penguasa Muslim tidak memaksa umat Kristen atau Yahudi Andalus untuk konversi agama, tapi kesadaran sendiri memeluk Islam sehingga teguh keimanannya. Berbeda dengan pasca Reconquista, dimana penguasa Kristen Spanyol melakukan pembaptisan paksa terhadap Muslim Moor.

Oleh karena itu, banyak diantara Moriscos yang masih beriman dan mempraktikkan syariat Islam secara sir (sembunyi) meski secara zahir mereka kafir, takut akan dibunuh jika ketahuan oleh inkuisitor.

Bahkan, mereka diketahui mengajarkan Islam kepada anak cucu sampai abad-abad selanjutnya. Awal abad ke-20 sampai sekarang, beberapa generasi mereka menggali kembali garis keturunan dan menyadari keyakinan nenek moyangnya, yang merupakan seorang Muslim, sehingga memilih untuk bersyahadat kembali dan mempelajari ulang ajaran Muhammad SAW, sedang sebagian yang lain hanya menyadari hal itu tapi bersikap tidak acuh.

Sekian.
Saya menemukan banyak referensi berbahasa Perancis dan Spanyol oleh sejarawan Barat yang meriwayatkan kehidupan dan keimanan Moriscos yang telah dibaptis paksa pasca reconquista abad ke-17 sampai akhir abad ke-19.

Tapi, sedikit sejarawan Muslim yang menulis hal tersebut, karena waktu itu Moriscos yang murtad dan sudah berpindah agama dianggap rela dan meski awalnya terpaksa namun akhirnya mereka tetap dalam keyakinan Kristen, padahal tidak demikian.

Walau begitu, ada seorang mufti asal Oran, Al Jazair bernama Syekh Ahmad Ibn Jumu'ah al-Maghrawi (w. 1511) telah menulis fatwa tentang iman Moriscos yang dipaksa berpindah agama.



Bagaimana kah hukum iman mereka? Apakah status mereka sama seperti kaum murtad lainnya dan halal darahnya dibunuh? Ataukah seperti umat Islam lain dan termasuk golongan ahli surga? Jawaban ada dalam artikel selanjutnya yang masih dalam proses penulisan. 🙏🏻

Gérard de Crémone, Penerjemah 80 Buku Sains Berbahasa Arab Aset Berharga Andalus ke Dalam Bahasa Latin


Sekolah Penerjemah Toledo (Bahasa Spanyol: Escuela de Traductores de Toledo) adalah sebuah lembaga atau yayasan bagi kelompok cendekiawan yang didirikan selama abad ke-12 dan ke-13 Masehi oleh Raimundo de Sauvetat, uskup agung di kota Toledo (طليطلة baca: thulaithulah) untuk bekerja sama dalam menerjemahkan banyak karya filosofis dan ilmiah dari Bahasa Arab Klasik.

Pada awal abad ke-12 M., sains Eropa sangat tertinggal dari sains Arab, dan produksi teks-teks yang ditulis dalam bahasa Arab oleh para sarjana Andalusia menyebar ke kota-kota utara Spanyol termasuk ke Toledo. Ilmu pengetahuan Arab sejak akhir abad ke-8 telah diuntungkan dengan kekayaan literatur Yunani yang mereka temui ketika menaklukkan Damaskus dan kota-kota lain di Mesir, Suriah dan Irak. Di antara teks-teks tersebut adalah karya-karya ilmiah milik Ptolemy, sejumlah karya filosofis Aristoteles dan Plato, beragam karya tentang geometri oleh Euclid dan tentang obat-obatan oleh Galen. Ilmu pengetahuan Arab juga mendapat manfaat dari berbagai kontak dan pertukaran keilmuwan dengan Kekaisaran Bizantium, para cendekiawan dan ahli matematika dari India dan Persia. Utamanya, karya-karya medis dan filsafat Ibn Sina (Avicenna) dan Ibn Rushd (Averroes) yang telah memegang pengaruh besar terhadap filsafat dan teologi Eropa abad ke-12 dan ke-13.

Banyak penerjemah bekerja di Toledo dan teks-teks terjemahan mereka menyebar ke berbagai universitas di Italia dan Prancis kala itu. Pusat terjemahan ditempatkan di Katedral Toledo yang terdapat dalam gambar di bawah ini:

 

Photo: Katedral Toledo, yang menjadi rumah bagi Sekolah Terjemahan Toledo pada pertengahan abad ke-12.


 

Salah seorang penerjemah yang dikreditkan sebagai salah satu penerjemah terkemuka pada akhir abad ke-12 asal Italia adalah Gérard de Crémone. Ia tiba di Toledo pada tahun 1167, konon untuk menemukan salinan Ptolemy Almagest, katalog pengetahuan ilmiah Yunani kuno. Pada saat kedatangan, ia awalnya harus mengandalkan Mozarabs (Bahasa Arab: مستعرب, orang Kristen zimi yang pernah hidup dan berintegrasi dengan budaya Arab dibawah pemerintahan penguasa Muslim) dan Yahudi untuk menerjemahkan buku-buku yang ia cari, sebab ia tidak tahu Bahasa Arab. Namun, lambat laun ia dapat menguasai bahasa Arab dan mulai menyusun hingga menerjemahkan banyak literatur Arab ke dalam bahasa Latin. Diketahui, ia telah menerjemahkan lebih dari 80 buku berbahasa Arab tentang sains. 

 

Di antara banyak terjemahannya adalah sebagai berikut:

1.    Almagest karya Ptolemy, ialah sebuah risalah astronomi yang mengemukakan gerakan kompleks bintang-bintang dan lintasan planet

2.    Analisis Posterior (Posterior Analytics), Fisika, the Heavens and the World, Generation and Corruption, dan Meteorologi karya Aristoteles

3.   Aljabar dan Almucabala, teori matematika karya Al-Khawarizmi

4.  Tentang Pengukuran Lingkaran (the Measurement of the Circle) karya Archimedes

5.    Elemen Geometri karya Euclid

6.    Elementa astronomica karya Jabir ibn Aflah

7.    Optik karya Al-Kindi

8.    Elements of Astronomy on the Celestial Motionstentang astronomi karya Al-Farghani

9.    Klasifikasi Ilmu Pengetahuan (Classification of the Sciences) karya Al-Farabi

10. Kimia dan Medis karya al-Razi (Rhazes)

11. Liber ad Almansorem, Liber Divisionum, Pengantar dalam medicinam, De egritudinibus iuncturarum, Antidotarium dan Practica puerorum karya al-Razi (Rhazes)

12. De elementis dan De definitionibus karya Isaac Israeli ben Solomon, seorang filsuf Yahudi

13. Al-Tasrif as Chirurgia karya Al-Zahrawi (Abulcasis)

14. The Canon of Medicine as Liber Canonis karya Ibnu Sina (Avicenna), dll.


Referensi:

de Navarre, Marguerite. 1894 (1558). The Heptameron of the Tales. Vol. 1 of 5. London: The Society of EnglishBibliophilists. http://www.gutenberg.org/files/17701/17701-h/17701-h.htm.

IBNU FIRNAS, Bapak Penerbangan dan Pencipta Teori Ornithopter Dari Andalus


        Pada awal abad ke-9 M., seorang sarjana Muslim bernama ‘Abbas Ibn Firnas memelopori studi penerbangan. Ibnu Firnas menemukan alat peluncur yang berhasil mengudara selama beberapa saat. Meskipun ia terluka parah saat pendaratan buruk, ia berhasil memelopori teori tentang struktur ornithopter yang merupakan komponen penting untuk stabilitas pesawat selama pendaratan. Artikel ini mengungkap sejarah awal penerbangan mulai dari periode awal zaman keemasan Islam hingga abad ke-20 Masehi yang telah menyaksikan upaya Barat dalam memperkenalkan mesin di pesawat terbang. Penemuan ornithopter oleh ‘Abbas Ibn Firnas telah mengilhami Barat untuk lebih mengembangkan teknologi penerbangan sehingga memengaruhi metode penerbangan modern. Karena itu, tentu saja Ibnu Firnas harus diakui sebagai 'bapak bidang penerbangan' dan aviator pertama di dunia karena kontribusinya yang tak ternilai bagi bidang kontemporer teknologi penerbangan dunia.

 

Latar Belakang Ibnu Firnas

Abu al-Qasim ‘Abbas Ibnu Firnas Ibnu Wardus, juga dikenal sebagai Ibnu Firnas, adalah keturunan Berber yang lahir pada 810 M di Izn-Ran Onda atau sekarang dikenal kota Ronda, Spanyol (The Encyclopaedia of Islam, 1986). Meskipun Ibn Firnas adalah penduduk asli Ronda, ia bermigrasi ke Cordoba untuk mengejar pengetahuan. Hasratnya akan pengetahuan membuatnya meninggalkan kampung halamannya. 

Selain itu, Ibnu Firnas juga telah melakukan perjalanan ke Irak untuk beberapa waktu sebelum kembali ke rumah (Mahayudin Yahaya, 1986). Seperti yang diketahui secara umum, kota Baghdad, terkenal dengan pusat pengetahuannya, yaitu Dar al-Hikmah, yang merupakan rumah bagi sejumlah besar ilmuwan, ilmuwan, penulis, penyair, seniman dan pengrajin Islam (Cavendish, M., 2011). Di sanalah Ibnu Firnas mempelajari berbagai pengetahuan dan menguasai banyak studi seperti astrologi, astronomi, teknik dan musik.

Semangat Ibnu Firnas sejak masa kanak-kanaknya dengan ilmu fisika, kimia, astronomi, dan sastra menarik perhatian pangeran Umayyah, Abdul Rahman II sehingga membuka pintu istananya agar Ibnu Firnas dapat mengajar para pangeran. Disebutkan bahwa ia telah mengajar di istana selama lebih dari 30 tahun.

         Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa Ibnu Firnas wafat pada tahun 887 M di era pemerintahan al-Mundhir (al-Maqqari, Ahmed Ibn Muhammed, 1840).

 

Pelopor di Bidang Penerbangan

Banyak sumber menyatakan bahwa ‘Abbas Ibn Firnas adalah orang pertama yang terbang (Palencia, Angel K., 1945; Hitti, P.K., 1964). Fakta ini juga diakui oleh seorang sarjana Barat, Phillip K. Hitti, yang mempelajari dunia Arab. Dalam bukunya yang berjudul “History of the Arabs: From the Early Times to the Present”, ia menyatakan bahwa: "Ibnu Firnas adalah orang pertama dalam sejarah yang melakukan upaya ilmiah untuk terbang".

Sejauh kontribusi Ibnu Firnas dalam penerbangan, jelas bahwa ia mulai menciptakan perangkat terbang yang memungkinkannya terbang dari satu tempat ke tempat lain pada 875 M. Perangkat terbang ini, terbuat dari sutra dan bulu elang, mengharuskannya untuk berada di tempat yang lebih tinggi untuk lepaslandas, lalu ia pun berhasil terbang selama sepuluh menit meski setelah itu jatuh dan merusak luncurannya. Akibatnya, Ibn Firnas mengalami cedera punggung yang parah dan patah kakiSebab usia yang lanjut, dan kegagalan menyembuhkan kaki yang patah, mencegahnya mengulangi percobaan untuk ketiga kalinya.

 

Teori Ornithopter

Setelah kecelakaan saat percobaan penerbangan, Ibnu Firnas menyadari bahwa struktur ujung ekor adalah bagian penting untuk mendarat, dan ini mirip dengan bagaimana seekor burung menggunakan ekor untuk mengurangi kecepatannya. Struktur ini kemudian dinamai ornithopter oleh da Vinci (Scholz, M.P., 2007). Ornithopter adalah teori yang didirikan oleh Ibnu Firnas menggunakan glider (replika pesawat untuk uji coba) pertama kalinya setelah upaya meluncurkan dirinya sendiri. Teori ini dikonfirmasi dalam naskah yang ditulis oleh Roger Bacon, menguraikan tentang ekor yang dikenal sebagai ornithopter. Pada tahun 1260 M, Bacon menulis artikel yang menyebutkan bahwa salah satu metode untuk terbang adalah dengan menggunakan ornithopter. Diketahui, bahwa Bacon belajar di Cordoba, tempat bersejarah yang juga merupakan tempat Ibn Firnas berusaha terbang. Penjelasan Bacon dalam tulisannya tentang ornithopter bisa saja didasarkan pada naskah Ibn Firnas di Spanyol yang telah hilang tanpa jejak. Hilangnya bukti kuat yang menyebutkan Ibn Firnas sebagai pelopor dalam studi penerbangan menghalangi dunia untuk mengakui kontribusinya di ornithopter selama berabad-abad (White, L.J., 1961).

Jelas bahwa upayanya telah membuka pintu untuk studi penerbangan sementara mengungkapkan konsep ornithopter sebagai komponen pesawat vital dalam menjaga stabilitas saat mendarat. Pentingnya karya Ibnu Firnas memberi dampak besar bagi dunia, terutama di bidang studi penerbangan. Saat ini, semua pesawat modern dan canggih mendarat dengan struktur back-end terlebih dahulu. Sayangnya, luncuran Ibnu Firnas tidak memiliki ekor di punggungnya sehingga penerbangannya berakhir dengan tragis.

 

Kontinuitas Usaha Dalam Bidang Penerbangan

Setelah Ibnu Firnas meninggal dunia pada 887, banyak Muslim dan non-Muslim meneruskan upaya dalam bidang penerbangan. Diantaranya adalah Al-Juhari asal Turki, ia membuat sayap dari kayu dan tali pada 1007 M, lalu mencoba meluncur terbang dari menara Masjid Ulu setinggi 1.002 kaki. Namun, upayanya gagal dan mengakibatkan kecelakaan fatal.

Setelah itu, pada abad ke 11 M., seorang biarawan asal Malmesbury, Eilmer berusaha meluncur dari ketinggian 1.000 kaki. Upayanya dianggap sukses karena ia terbang dengan ketinggian 600 kaki. Namun, ia lupa menggunakan ekor saat mendarat, dan kegagalannya karena tidak mengambil pelajaran dari upaya Ibnu Firnas ini mengakibatkan kecelakaan parah dengan cedera dua kaki patah.

 

Penerbangan di Era Renaisans

Melihat kegagalan yang dialami oleh Al-Juhari dan Eilmer, upaya serupa dihentikan untuk sementara waktu. Namun percobaan yang menantang itu muncul kembali selama era Renaisans, lebih kurang 600 tahun setelah kematian Ibnu Firnas, terutama ketika Leonardo da Vinci menghasilkan beberapa sketsa mesin terbang. Sarjana Italia ini hanya berhasil membuat sketsa beberapa mesin terbang tetapi tidak dapat membuktikan bahwa perangkat itu dapat terbang atau tidak, karena ia belum pernah mencoba menerbangkannya.

Pada abad ke-19 M., yaitu 900 tahun setelah kematian Ibnu Firnas, ada upaya untuk terbang menggunakan sayap besar seperti yang dirancang oleh da Vinci di Eropa. Di antaranya adalah usaha seorang insinyur Jerman, Otto Lilienthal. Ia adalah seorang peluncur yang luar biasa saat itu. Lilienthal mempelajari beberapa aspek penerbangan seperti gaya angkat dari permukaan bumi, bentuk sayap, dan perbedaannya yang akan menghasilkan tekanan berbeda yang merupakan faktor penting bagi stabilitas penerbangan. Namun, selama upaya penerbangannya pada tahun 1896, angin tiba-tiba bertiup kencang dan ia tidak dapat mengendalikan luncurannya sehingga jatuh di daerah perbukitan Berlin. Karena kemalangan ini ia meninggal pada hari berikutnya.

Meluncur tanpa mesin berhasil diperluas lebih lanjut oleh Wright bersaudara sampai penemuan pesawat bertenaga mesin yang terbang 260 meter. Dua orang kakak beradik, Orville Wright (w. 1948) dan Wilbur Wright (w. 1912) dikenal hingga hari ini karena upaya pertama mereka untuk terbang pada tanggal 1 Desember 1903. Sejak itu, mereka dihargai atas desain dan perancangan pesawat terbang efektif untuk pertama kali. Kunci Wilbur Wright untuk ini adalah dengan mempelajari bagaimana burung terbang mirip dengan apa yang telah dilakukan Ibnu Firnas 1.000 tahun yang lalu. Wright menyadari bahwa seekor burung menjaga kestabilannya di udara atau ketika berbelok ke kiri atau kanan dengan mengubah posisi sayapnya. Sebelum membangun pesawat, Wright bersaudara menggunakan glider untuk menghindari kecelakaan.

Pada tahun 1908 Masehi, Wright bersaudara berdemonstrasi melakukan penerbangan di Prancis (Anderson, J.D., 2004) dan demonstrasi itu disaksikan oleh publik. Setahun kemudian, bidang penerbangan terus dikembangkan oleh Henri Farman dan Louis Bleriot. Keberhasilan demi keberhasilan telah dicapai melalui pengamatan dan analisis pada konsep penerbangan sambil melakukan perbaikan pada struktur pesawat sebelumnya. Dengan demikian, sejumlah penemuan alat terbang telah ditemukan seperti jet, roket dan pesawat ruang angkasa.

Dengan begitu, upaya Ibnu Firnas untuk terbang hingga melahirkan konsep ornithopter sebagai komponen utama dalam menjaga stabilitas penerbangan adalah dedikasi terbaik dari tokoh Andalusia yang telah menginspirasi Barat dan dunia modern, namun menjadi sejarah yang dilupakan oleh banyak kalangan yang khususnya anti Islam.

 

 

 

 

Referensi

al-Hassani, Salim T.S., 2006. 1001 Inventions: Muslim Heritage in Our World. Manchester: Foundation of Science, Technology and Civilization. 

al-Maqqari, Ahmed Ibn Muhammed, 1840. The history of the Mohammedan dynasties in Spain. London: Oriental Translation Library of the British Museum. 

al-Shahawi, Salah ‘Abd al-Sattar, 2011. Ibn Firnas: Awwal ra’id fada’ fi al-tarikh. http://www.hiramagazine.com /archives/title/555 

Anderson, J.D., 2004. Inventing Flight: The Wright Brothers & Their Predecessors. Baltimore: The John Hopkins University Press. 

Cavendish, M., 2011. Illustrated Dictionary of the Muslim World. New York: Marshall Cavendish Corp.

Hitti, Philip K., 1964. History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present. London: Macmillan & Co. Ltd.

Mahayudin Yahaya, 1986. Ensiklopedia Sejarah Islam. Vol. 1. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia Press.

Maimun Aqsha Lubis. 2010. Tamadun Islam dan Peradaban Dunia. Bangi: Penerbit Awal Hijrah Sdn. Bhd. Masood, Ehsan. 2009. Sciences and Islam: A History. London: Icon Book Ltd.

Palencia, Angel G., 1945. Historia de la Literatura Arábigo-Española. Edisi 2, terjemah Husein Mu’nis: Tarikh al-Fikr al-Andalusi, (Cairo: Maktabah at-Tsaqafah ad-Diniyah, 2008).

Samsu Adabi Mamat, 2000. Ibn Firnas: Idea penerbangan pertama dunia Islam. Prosiding Seminar Ketokohan Cendekiawan Islam, pp. 108-116.

Scholz, M.P., 2007. Advanced NXT: The Da Vinci Inventions Book. New York: Apress.

The Encyclopaedia of Islam, 1986. Vol. 1. Leidin: E.J. Brill.

White, L.J., 1961. Eilmer of Malmesbury, an Eleventh Century aviator: A case study of technological innovation, its context and tradition. Technology and Culture, 2(2): 97-111.

Ekspansi Islam Ke Semenanjung Iberia (Al-Andalus)


     

Ekspansi umat Muslim di Semenanjung Iberia merupakan serangan terkahir dan paling dramatis dari seluruh operasi militer penting yang pernah dilakukan oleh gabungan orang-orang Arab dan Berber Afrika Utara. Mulai dari pengintaian oleh Tharif ibn Malik sampai puncak penaklukan yang dipimpin oleh Thariq ibn Ziyad pada 711 M/92 H.

Tentu, kesuksesan yang digapai oleh Thariq adalah berkat para pendahulunya yang telah dulu menaklukkan dan menjadikan Afrika Utara sebagai pusat kekuatan Islam di benua Afrika. Beragam cerita dan kisah diukir sejarawan tentang perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Berber dan Arab mulai mengetuk sampai membuka Andalus, namun ada beberapa kejanggalan yang penulis temukan berdasarkan analisis dari beberapa riwayat yang berbeda. Pada umumnya, kisah ekspansi Islam ke Semenanjung Iberia adalah sebagai berikut. 

1.         Konflik Internal Kerajaan Visigoth Spanyol

Saat dakwah Islam disampaikan oleh Musa ibn Nushair di Afrika Utara, banyak golongan Berber yang berbondong-bondong menjadi mualaf hingga teguh keislamannya. Termasuk diantaranya adalah Thariq ibn Ziyad, salah seorang komandan pasukan Berber yang sebelumnya menjadi komandan penjaga kota Tangier.

Thariq ibn Ziyad bersuku asli Amazigh Maroko, dan ia sebelumnya pernah menjadi budak Musa ibn Nushair. Melihat keteguhan Thariq, Musa mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan dan sama-sama berjuang menyiarkan Islam. Mereka berhasil menguasai Maroko sampai ke kota Tangier, kecuali sebuah daerah bernama Ceuta (سبتة) yang masih dikuasai oleh Julian sejak masa ekspansi Uqbah. Julian tidak masuk Islam, melainkan hanya berdamai dengan Uqbah. Diketahui, ialah yang kemudian membantu menghantarkan umat Islam ke daratan Andalusia. ('Idzari, 2013)

Saat itu, Spanyol berada di akhir masa kerajaan Visigoth yang sedang mengalami kemunduran di bawah kendali raja Roderick, seorang raja juga panglima yang dikenal licik. Sementara riwayat lain menyebutkan sebab kemunduran Visigoth adalah karena pajak yang memberatkan rakyat dan hanya menguntungkan sebelah pihak, ditambah para pemuka Nasrani ikut campur terkait urusan negara, dan banyak faktor lain yang berhujung kepada kemerosotan. (Hitti, 2013)

Sebelum Roderick, kerajaan Visigoth dipimpin oleh seorang Ratu bernama Achila, putri raja Witiza (غيطشة) yang dikudeta olehnya. Banyak yang memusuhi raja Roderick pasca kudeta, termasuk Julian. Ditambah, menurut berita yang didapat bahwa putri Julian pernah diperkosa oleh Roderick hingga membuatnya sangat marah dan dendam. Memanfaatkan kesempatan dari situasi yang dialami, Julian menemui Musa ibn Nushair dan meminta pertolongan umat Islam untuk menyerbu Andalus. Ia juga membocorkan kelemahan Spanyol kepada Musa dan berjanji akan membantu pasukan Islam menyerang mereka. Mendengar itu, Musa ibn Nushair sebagai gubernur Afrika Utara melaporkannya kepada khalifah Al-Walid. Dengan berhati-hati sang Khalifah meminta Musa ibn Nushair untuk mempelajari terlebih dahulu kekuatan dan wilayah kekuasaan Andalus. Lalu, tanpa mengulur waktu, Musa memerintahkan Tharif ibn Malik untuk menyeberangi Andalus. (Hitti, 2013)

Benarkah Julian (Gubernur Imperium Romawi di Ceuta) membantu umat Islam dalam penaklukkan Andalus?

Mengenai hal ini, Fransisco Codera, sejarawan Spanyol menyebutkan bahwa nama asli Julian ialah Urban atau Olban. Fransisco menggunakan metode historical criticism yang mengungkapkan bahwa kisah tentang pemerkosaan Florinda, anak gadis Julian yang cantik, oleh Roderick, juga cerita tentang kerjasama Julian dengan orang-orang Arab hanyalah legenda belaka. Faktanya, seluruh cerita penaklukkan itu telah banyak dibubuhi, dalam artian adanya tendensi melebih-lebihkan oleh para penulis kronik Spanyol dan Arab. (Codera, 1903) Penulis belum menemukan referensi lebih lanjut tentang persekongkolan Julian dengan umat Muslim.

2.         Tharif Ibn Malik Mengetuk Pintu Andalusia

Awalnya, Musa ibn Nushair sebagai gubernur Afrika Utara berniat melakukan pengintaian ke Andalus. Ia mengutus intelijen terbaiknya Tharif ibn Malik untuk menyeberangi selat Gibraltar dengan empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Pasukan yang bergabung ketika itu berjumlah sekitar 500 orang. Singkatnya, mereka berhasil kembali setelah menghancurkan sarana pertahanan di pesisir Andalus juga membawa harta rampasan perang dengan jumlah yang besar. ('Idzari, 2013)

Imam at-Thabari menyebutkan empat pendapat yang mengklaim tentang Muslim pertama yang membuka Andalus, yaitu:

a.     Pendapat pertama; Musa ibn Nushair pada 91 H/710 M

b.     Pendapat kedua; Tharif ibn Malik pada 91 H

c.     Pendapat ketiga; Thariq ibn Ziyad pada 91 H

d.     Pendapat keempat; Abdullah ibn Nafi’ ibn Abdul Qais al-Fihri dan Abdullah ibn al-Hushain al-Fihri telah membuka Andalus melalui jalur laut pada masa Utsman ibn Affan. (Al-Thabari, 2009)

 

Lebih lanjut, Dr. Abdurrahman ‘Ali al-Hajji, menjelaskan tatkala Afrika sudah ditaklukkan, Utsman ibn Affan r.a. mengirim perintah kepada Abdullah ibn Nafi’ ibn Qais dan Abdullah ibn Nafi’ ibn al-Hushain agar segera bergerak ke Andalus melalui jalan laut. Peperangan tersebut terjadi pada 27 H dan bertujuan untuk membuka kepulauan Andalus serta mengambil ganimahnya lalu kembali dengan selamat. (al-Hajji, 1981)

Kalaupun benar, tentu penaklukkan pertama Andalus yang dilakukan tidak permanen sebab daratan Afrika ketika itu masih dalam tahap penaklukkan. Sedang Eropa masih dikuasai oleh Kerajaan Visigoth di Spanyol dan Kerajaan Franka di wilayah Eropa Barat. Melainkan, bangsa Arab hanya memberikan stimulus kepada imperium Romawi Barat tersebut.

Di sisi lain, Muhammad Ridha, sastrawan Mesir dan penulis kitab “Utsman ibn Affan” menjelaskan bahwa armada laut pasukan Islam baru pertama kali berlabuh yaitu ketika penaklukkan Cyprus pada 28 H, bahkan ketika itu Khalifah Utsman merasa khawatir akan penaklukkan jika dilakukan melalui jalur laut. (Ridha, 2010)

Jadi, peristiwa sejarah ini dapat dianalisis secara rasional, bahwa tidak mungkin Andalus dapat ditaklukkan oleh Al-Fihriyan (Abdullah ibn Nafi’ ibn Qais dan Abdullah ibn Nafi’ ibn al-Hushain) pada masa Utsman ibn Affan, karena armada laut pasukan Islam yang berpusat di Syam baru pertama kali berlabuh setahun setelahnya menuju Cyprus. Dilihat dari letak geografis pun, Syam dan Andalus memiliki jarak yang sangat jauh.

Adapun jika dikatakan Thariq ibn Ziyad yang pertama menaklukkan Andalusia melalui darat, tentu lebih rasional karena daratan Afrika Utara telah dikuasai oleh umat Islam. Sedangkan Tharif ibn Malik lebih pantas disebut sebagai pembuka yang mengetuk pintu Andalus bukan penakluk. Ketika diutus mengintai Spanyol, Tharif memanfaatkan dengan meluluhlantakkan pertahanan mereka dan mengambil ganimah kemudian bergegas kembali ke Afrika Utara.

Sementara Musa ibn Nushair bisa disebut sebagai gubernur Afrika Utara pertama yang menaklukkan Andalus, hanya ia tidak menaklukkannya secara langsung melainkan melalui panglimanya, Thariq ibn Ziyad. Dan Thariq pula belum tentu dapat membuka Andalus jika bukan karena perintah Musa sebagai atasannya. Musa baru bergerak dan terjun langsung ke daratan Spanyol setahun setelah ditaklukkan oleh Thariq yaitu pada 712 Masehi. ('Idzari, 2013) 

3.         Kerajaan Visigoth Runtuh dan Bermulanya Sejarah Baru Umat Islam di Semenanjung Iberia

Mengetahui kelonggaran yang terjadi di kerajaan Visigothik, Musa ibn Nushair langsung mengirimkan 7.000 pasukan yang dipimpin oleh Thariq ibn Ziyad menuju Andalusia pada 711 M/92 H. Infanteri Muslim terdiri dari gabungan tentara Berber dan Arab yang diutus oleh Khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik. Kemudian, mereka menyeberangi selat pemisah antara Maroko dan Spanyol hingga sampai ke sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gibraltar, orang Arab menyebutnya Jabal Tariq, sebagai tempat pertama mendaratnya Thariq ibn Ziyad beserta pasukan. Dengan dikuasainya daerah pesisir itu, maka Thariq memiliki peluang besar untuk menguasai wilayah Spanyol. ('Idzari, 2013)

Menyadari wilayahnya mulai dimasuki kaum muslimin Afrika, Roderick pun langsung menyiapkan pasukan sebanyak 70.000 orang hingga meletuslah pertempuran sengit antara umat Islam dengan pasukan kerajaan Visigothik. Pantang menyerah, Thariq sempat mengirimkan surat penambahan kuota pasukan kepada Musa ibn Nushair. Tidak lama, surat tersebut direspon oleh Gubernur Musa dengan mengirimkan bala bantuan tambahan sejumlah 5.000 pasukan sehingga bala tentara Thariq seluruhnya berjumlah 12.000 pasukan. Meskipun, jumlah kaum muslimin masih tergolong sangat sedikit, namun mereka berhasil mengalahkan pasukan Visigoth, dan raja Roderick pun terbunuh di sebuah lembah bernama lembah Lakkah. Selanjutnya, Thariq mulai menjarahi satu persatu kota lalu menguasai Cordova (قرطبة), Granada (غرناطة), dan Toledo (طُلَيطُلة) sebagai ibukota penting Kerajaan Gothik. (Hitti, 2013) 

Mitos Pembakaran Kapal Oleh Pasukan Thariq Ibn Ziyad

Tidak masuk akal, seperti yang diungkapkan Dr. Mahmoud Ali Makki, bekas wakil Direktur Institut Studi Islam di Madrid, juga peneliti literatur dan sejarah Andalusia yang telah men-tahqiq kitab “Al-Muqtabis” karya Ibn Hayyan al-Andalusi, bahwa berita penting ini disembunyikan dari semua sejarawan sebelumnya.

Dapat ditelusuri kisah tentang pembakaran kapal oleh pasukan Thariq ibn Ziyad bersumber dari tiga penulis awal seperti Ibn Muhammad al-Idrisi (w. 560 H), dan bukunya “Nuzhat al-Mushtaq” pada tahun 548 H, lalu Abu Marwan ‘Abd al-Malik ibn al-Kardabus, pengarang “Tarikh al-Andalus”, serta Muhammad ibn Abdullah al-Himyari, penulis kitab “Al-Rawd al-Mitar”. Kemudian narasi mereka diikuti dan diulangi oleh sejarawan lain setelahnya.

Contoh narasi yang ditulis oleh Ibn al-Kardabus adalah sebagai berikut:

“…Kemudian Tariq pergi ke Cordoba setelah membakar kapal dan berkata kepada pasukannya: Berperang atau mati!” (Ibn Kardabus, 1971)

Dr. Mahmoud Ali Maki telah membuat perbandingan antara sejumlah mitos, dan mengaitkannya dengan legenda yang sama berasal Timur. Menurut pengamatannya, terdapat kemiripan yang jelas antara berita pendaratan Tariq bin Ziyad dan para prajuritnya di pantai Andalusia dengan legenda yang beredar dalam berita Arab kuno tentang pembakaran kapal oleh Wahrez al-Farisi ketika membantu Sayf ibn Dhi Yazan dalam penaklukan Yaman. (‘Uwais, 1995)

Ditambah oleh Dr. Al-Abadi, bahwa legenda pembakaran kapal tersebut begitu populer di Spanyol sehingga beberapa penakluk Spanyol terpengaruh untuk mencoba menerapkannya dalam beberapa tindakan militer, dan telah menyebar di kalangan mereka istilah “He Quemado Todasnaves” yang berarti “saya telah membakar semua kapal saya”. (‘Uwais, 1995)

Oleh karena tersebarnya berita yang tidak valid ketika itu, menyebabkan orang-orang Kristen Spanyol memiliki andil dalam menambahkan banyak peristiwa anekdot dan legendaris pada narasi tersebut.

Sementara, penulis dan beberapa peneliti sejarah lebih condong kepada hipotesa sejarah yang mencatat bahwa Tariq sempat meminta dukungan dari Musa ibn Nushair di Afrika Utara setelah melihat sejumlah besar tantara Visigoth. Benar, bahwa Musa mengirimkan bala bantuan tambahan berjumlah 5000 pasukan. Bagaimana mungkin hal itu akan terjadi jika seluruh kapal yang mengangkut pasukan Tariq dibakar sebagaimana yang tertuang dalam mitos sejarah!

4.         Puncak Keberhasilan dan Akhir Hidup Sang Penakluk Andalusia

Setelah berhasil merealisasikan misinya, Thariq mengirimkan surat kepada Musa ibn Nushair dan memberitakan kabar gembira atas keberhasilan mereka menaklukkan sebagian besar wilayah Andalusia dan banyaknya harta rampasan yang didapatkan. Mengetahui itu, Musa langsung membalas pesan Thariq dengan memerintahkannya untuk menghentikan gerakan. Namun Thariq memilih untuk tetap meneruskan ekspansi karena menurutnya jika gerakan dihentikan maka akan membahayakan kaum muslimin ketika itu mengingat pasukan Visighot yang terus menyusun strategi perang. Niat Thariq atas alasan keamanan tersebut juga disampaikan kepada Musa ibn Nushair melalui surat.

Setelah membaca pesan yang disampaikan Thariq, Musa ibn Nushair langsung berangkat ke Spanyol bersama 18.000 bala tentara tepatnya pada 712 M/93 H dan disambut langsung oleh Thariq yang saat itu sedang menuju kota Toledo. Sedangkan Imam at-Thabary mengatakan mereka bertemu di Cordova. Lantas Musa ketika itu sangat marah kepada Thariq karena telah mengabaikan perintahnya sebagai atasan. Thariq sebagai panglima perang yang telah menguasai separuh wilayah Spanyol pun akhirnya dipenjarakan olehnya. ('Idzari, 2013)

Dalam kitab “Al-Bayanul Mughrib fi Ikhtishari Akhbari Mulukil Andalusi wa al-Maghrib”, Ibnu ‘Idzari al-Murrakusyi tidak menyebutkan bahwa Thariq ibn Ziyad dipenjarakan oleh Musa ibn Nushair, melainkan hanya mencambuknya dan mengambil harta rampasan perang dari Thariq terutama meja antik besar (maidah) Nabi Sulaiman. (Hitti, 2013)

Legenda menuturkan bahwa meja tersebut sengaja dibuat sebagai persembahan kepada Raja Sulaiman. Kemudian saat Romawi berkuasa, mereka merampas meja unik tersebut dari kaum Yahudi Yerussalem lalu dibawa oleh bangsa Gotik Barat. Setiap Raja Gothik berlomba-lomba dengan raja sebelumnya untuk memperindah meja tersebut dan disimpan di Katedral Toledo hingga akhirnya berhasil direbut oleh Thariq. (Hitti, 2013)

Setelah menghukum Thariq, lalu Musa mengangkat Mughits ibn al-Harits menggantikan kedudukannya. Tapi malah Mughits menolak perintah tersebut, ia menuntut untuk mengembalikan posisi Thariq ke semula. Bahkan ia sempat diam-diam mengirimkan pesan kepada Khalifah Al-Walid di Damaskus dan menceritakan kejadian tersebut. Mengetahuinya, sang khalifah yang dikenal adil pun langsung bertindak hingga akhirnya Thariq kembali diangkat menjadi pemimpin pasukan lalu mereka berdua melanjutkan ekspansi menuju Castilla, Aragon, hingga Catalonia.

Profesor sejarah Universitas New York, David Levering Lewis menyebutkan bahwa setelah beberapa saat menjadi gubernur Spanyol-Islam, Thariq ibn Ziyad dipanggil kembali oleh Khalifah Al-Walid ke Damaskus. Ia berangkat bersama Musa ibn Nushair pada 714 Masehi. Lalu setahun setelahnya sang khalifah wafat dan digantikan oleh Sulaiman ibn Abdul Malik. (Lewis, 2008)

Saat menjabat sebagai khalifah, Sulaiman ibn Abdul Malik sempat akan mengangkat kembali Thariq menjadi gubernur Andalus, namun gagal karena adanya desas-desus yang menggambarkan bahwa rakyat Andalus sangat taat terhadap Thariq, sehingga membahayakan kedudukan khalifah. Akhirnya, Khalifah membatalkan rencananya tersebut.

Sedangkan, tahun-tahun akhir hidup Thariq ibn Ziyad masih penuh misteri karena tidak banyak yang meriwayatkannya. Alwi Alatas menyatakan bahwa Thariq wafat pada tahun 720 Masehi. (Alatas, 2007)

Sementara penaklukkan di Andalus dilanjutkan oleh putra Musa ibn Nushair bernama Abdul ‘Aziz yang menjadi ‘amir pertama Spanyol-Islam dan terus berlanjut dari masa ke masa hingga akhirnya militer muslim berhasil menjangkau seluruh wilayah Spanyol, Prancis Tengah dan wilayah-wilayah penting dari Italia. (al-'Ilm, 2011)

Umat Islam pun mulai membangun dan mempercantik lagi bangunan dan kota-kota di Spanyol. Banyak masjid dibangun, pepohonan dan bunga-bunga juga diimpor dari Timur. Tidak hanya itu, mencapai masa kejayaannya, Andalusia bahkan menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan dengan beribukota di Kordoba.

Dalam dunia Islam, Kordoba merupakan salah satu pusat budaya yang maju. Populasi kekhalifahan Kordoba ini pun mencapai 500.000 jiwa dan saat itu mengalahkan Konstantinopel sebagai kota terbesar dalam segi jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa.

5.         Cendekiawan Dan Ulama Andalus Terkenal

-       Ibnu Rusyd, filsuf terkenal yang pernah mengajar di Universitas Al-Qarawiyyin Fes, karyanya yang terkenal ialah “Bidayatul Mujtahid” dan “Tahafut at-Tahafut”.

-       Ibnu Hazm, pengarang kitab “Al-Fashl fi al-Milali wa al-Ahwa’i wa an-Nihal”.

-       Qadi Ayyad, ulama Maroko asal Andalus yang dikenal sebagai ahli Hadits dan pernah menjabat sebagai hakim tinggi di Granada. Makam beliau berada di kota Marrakech dan menjadi salah satu dari tujuh wali di Maroko.

-       Imam Al-Qurthubi, pengarang kitab Tafsir al-Qurthubi.

-       Az-Zahrawi (Abulcasis), seorang dokter bedah yang sangat fenomenal.

-       As-Syatibi, ulama ahli maqashid pengarang kitab “Al-Muwafaqat”.

-       Ibn Tufail & Ibn Bajjah (Avempace), ahli astronomi.

-       Ibn Firnas, orang pertama dalam sejarah, yang telah membuat upaya percobaan ilmiah dalam ilmu penerbangan.

-       Al-Idrisi

-       Ibn ‘Abdil Barr

-       Ibn Hayyan

-       Ibn al-Abar

-       Ibn al-Baitar

-       Ibn Zohr

-       Ibn Masarra

-       Ibn Bashkuwal

-       Abd al-Malik Ibn Habib

-       Ibn al-Khatib dan banyak lainnya.

 

 

REFERENSI

 

·      ‘Uwais, Abdul Halim. Ihraq Thariq Ibn Ziyad li as-Sufun Usthurah, La Tarikh, Cet. 1, (Cairo, 1995).

·      Alatas, Alwi. Sang Penakluk Andalusia: Thariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nusayr. (Jakarta: Zikrul, 2007).

·      At-Thabari, Ibn Jarir. Tarikh al-Umam wal Muluk.

·      Codera, Fransisco. Estudios Criticos de Historia Drabe Espanola, Seri 2, (1903).

·      Dar al-‘Ilm. Atlas Sejarah Islam: Sejak Masa Permulaan Hingga Kejayaan Islam. (Jakarta: Kaysa Media, 2011).

·      Hitti, Philip. K. History of The Arabs (Terjemahan oleh IKAPI)Cet. 1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013).

·      Ibn Kardabus. Tarikh al-Andalus, di-tahqiq oleh Dr. Ahmad Mukhtar al-Abadi, (Madrid: Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyah, 1971).

·      Ibnu ‘Idzari al-Murrakusyi. Al-Bayanul Mughrib fi Ikhtishari Akhbari Mulukil Andalusi wa al-Maghrib(Tunis: Dar el-Gharb el-Islami, 2013).

·      Lewis, David Levering. The Greatness of Al-Andalus: Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat. (Jakarta: Serambi, 2008).·