BREAKING NEWS
latest

Advertisement

Bataille de Poitiers, Batas Penaklukkan Muslim Di Eropa Barat




Gibbon serta para sejarawan lain meyakini jika seandainya umat Islam dibawah komando seorang tabiin 'Abdurrahman bin Abdullah el-Ghafiqi memenangkan pertempuran melawan pasukan bersenjata Franka dibawah pimpinan Charles Martel, maka saat ini kita bisa melihat masjid-masjid berdiri megah di Paris, London, juga negara Eropa lain, bukan malah Katedral. Begitu juga Al-Quran akan ditelaah di Oxford dan pusat-pusat pembelajaran lainnya.


Merenungi tujuh hari perlawanan sengit bangsa Arab saat ekspansi ke daratan Prancis pada Oktober 732 Masehi lalu, yang berakhir dengan kekalahan dan penarikan pasukan Muslim setelah pemimpinnya, Abdurrahman el-Ghafiqi terbunuh. Pertempuran ini kemudian dikenal dengan "Battaille de Poitiers" (Bahasa Arab: معركة بلاط الشهداءatau معركة بواتييه), yang berlokasi di wilayah Moussais la Bataille, tengah-tengah negara Prancis, 300km dari kota Paris.

Masjid Kota Carmona Yang Diubah Menjadi Gereja



MASJID CARMONA, ialah termasuk salah satu masjid di Andalus yang dirampas dan dikonversi menjadi gereja (sekarang bernama: Church of Santa Maria).


Masjid ini berada di kota Carmona (30km dari Seville dan 90km dari Cordoba) yang pernah dikuasai oleh Banu Birzal atau Birzalides, salah satu Dinasti Thawaif bersuku Berber di Andalus abad ke-11M., kemudian beralih ke Dinasti Banu Abbad atau Abbadid, sampai diambil alih oleh Murabithun.


Setelah kota Carmona direbut oleh Fernando III pada tahun 1247, masjid pun dialihfungsikan menjadi gereja dan masih aktif sampai sekarang.




Konversi Hagia Sophia, Langkah Kosokbali Masjid Agung Seville Menjadi Katedral


Pada 1171-1172 M, Khalifah Abu Yaqub Yusuf bin Abdul Mu'min (w. 1184) dari Dinasti Almohad memerintahkan pembangunan masjid agung baru untuk kota Seville, Spanyol di ujung Selatan kota.


Sejak masa pemerintahan Dinasti Almovarid tahun 1091, Seville telah menjadi kota yang sangat sibuk dan sebagai pusat dari banyak bidang kehidupan, mulai dari keagamaan, ilmu pengetahuan, ekonomi, hingga budaya.


Tak heran, banyak kitab-kitab biografi ulama Andalus seperti "Fihrist ibn Khair al-Isybili" sering menyebutkan adanya kegiatan pengajian dan transfer ilmu agama, serta banyak ulama hadits yang mengambil sanadnya di kota dan masjid ini.


Minaret masjid Seville bergaya almohad yang dikenal dengan nama Giralda itu pada mulanya dibangun persis seperti menara Koutubia di Marrakech dan menara Hassan di Rabat, sedangkan tingginya melebihi kedua masjid tersebut, bahkan melebihi tinggi menara masjid Cordoba.


Hingga kota Seville direbut oleh pasukan Kristen pimpinan Ferdinand III dari Kastila di tahun 1248, masjid itu dikonversi menjadi katedral gotik kota. Orientasinya diubah, ruang-ruangnya dipartisi dan didekorasi agar sesuai dengan praktik ibadah Kristen.


Masjid yang sebelumnya bernama Masjid Agung Seville (Bahasa Arab: جامع إشبيلية الأعظم) pun berubah nama menjadi The Cathedral of Saint Mary, atau akrab dikenal Cathedral of Seville.


Mulai tahun 1434, bangunan ini direnovasi hingga menjadi bangunan paling megah dan besar, seperti yang masyhur di kalangan masyakarat Seville bahwa seorang anggota katedral pernah berkata: "Hagamos una Iglesia tan hermosa y tan grandiosa que los que la vieren labrada nos tengan por locos", artinya: "Mari kita bangun sebuah gereja yang begitu indah dan megah sehingga mereka yang melihatnya menganggap bahwa kita gila".


Pembangunan pun dilakukan sampai berubah menjadi katedral terbesar di dunia, saat itu mengalahkan Hagia Sophia di Istanbul.


Mencermati kontroversi yang sedang bergaung saat ini terkait konversi Hagia Sophia menjadi masjid, hal itu bukan lah kasus perdana, Eropa sendiri menjadi saksi bisu peristiwa alihfungsi ratusan gereja menjadi masjid sebab sepi pengunjung pemeluknya sendiri, justru kalau berdalih bahwa Hagia Sophia adalah milik umat kristiani dan tidak layak untuk diubah fungsi menjadi masjid, sampai-sampai keuskupan AS menetapkan tanggal 24 Juli sebagai hari berkabung akibat konversi tersebut, maka peristiwa menyedihkan yang terjadi di Andalus dapat menjatuhkan dan membungkam argumen mereka. Ribuan masjid milik umat muslim Spanyol yang dialihfungsikan menjadi gereja dan katedral oleh penguasa Katolik, tapi umat Islam hanya tutup mulut dan menerima takdir siklus sejarah. Diantaranya kemudian diubah menjadi museum seperti masjid Cordoba, sementara banyak lainnya masih aktif berstatus gereja gotik seperti Cathedral of Saint Mary, bekas masjid agung kota Seville. Sebab itu menurut hemat penulis, politik dan penguasa akan selalu berperan dalam kepentingan negaranya, dan yang pasti tidak layak bagi awam berkomentar tanpa landasan, karena sentimen agama akan selalu dikedepankan oleh oknum-oknum internal maupun eksternal yang mengintervensi.


Lihatlah bagaimana masjid agung kota ini dikonversi, sampai-sampai tidak berbekas dan menghilangkan rekam bentuk aslinya:






Keluarga Ilmiah Andalusia: Dalam Studi Onomastik-Biografis al-Andalus


Familias andalusíes begitu mewarnai kehidupan keilmuwan di kota-kota Andalus, ketika Islam telah menyebar ke seluruh Andalusia, Allah membukakan pintu hati rakyatnya, menggantikan kesombongan dengan pemahaman dan kebajikan, sehingga sekelompok orang Andalusia menerima berbagai pengetahuan Islam seperti ilmu tafsir, hadist, fikih, ushul fikih, dll.,


Setelah menjadi ulama, mereka mewarisi ilmunya kepada anak dan cucu, diurutkan dari kakek kepada ayah, ayah kepada anak, anak kepada cucu, dst., hingga berabad-abad.


Silsilah keilmuwan pendahulu ini kemudian disebut "Familias andalusíes (Bahasa Arab: البيوتات العلمية الأندلسية)" atau "Keluarga Ilmiah Andalusia" muncul di Cordoba, Seville, Granada, dan kota-kota terkenal lainnya di Spanyol Islam.


Contoh keluarga Andalusia dalam studi onomastik-biografis, seperti los Banū ´Ațiyya di Granada, atau keluarga ’Ațiyya, yang tiba di Andalus pada saat penaklukan, dan beberapa anggota keluarganya kemudian menjadi tokoh terkemuka di wilayah Granada di bidang budaya dan agama.


Tokoh terpenting dalam Bani Keluarga Ațiyya adalah Abū Bakr Gālib bin  'Abd al-Raḥmān (440-517 / 1049-1124), seorang penyair dan budayawan, dan putranya Abū Muḥammad Abd al-Haqq (480-541 / 1088-1147), adalah seorang hakim, penyair, dan ahli tafsir yang kita kenal dengan Ibnu ’Ațiyya.


Contoh lain seperti: Banu Qasi, Beni al Ahmar, Banu Hud, Banu Sid Buna, Banu Almanzor, Bani Meruán, Banu ’Āshim al-Tsaqafi,Bani Birzal, Banu Aflah, Banu Shumadih, Banu Baji, dll.

Ibn Waddah dan Baqi ibn Makhlad al-Qurtuby, Pemrakarsa Madrasah Hadits di Andalus


Begitu kentalnya praktik hukum yurisprudensi Islam (fikih) dengan haluan mazhab Maliki di Maroko dan Andalus, itu karena sejarahnya kitab Muwatha' karya Imam Malik lebih dulu masuk ke wilayah Gharb Islam ini. Bahkan, kitab-kitab sunnah terkemuka pedoman kedua setelah Al-Quran seperti Shahih Bukhari datang belakangan. Bukan karena masyarakat dan ulamanya tidak peduli, tetapi karena Imam Malik sudah mewanti-wanti untuk tidak berkecimpung lebih dalam tentang persoalan riwayat, agar tidak bercampur antara hadits satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, kecondongan mereka dalam bidang fikih terutama fikih Maliki lebih kuat kala itu.


Namun, bukan berarti menolak, justru ketika Ibn Waddah al-Qurtuby (w. 286H /899M) kembali ke Andalus setelah rihlah panjangnya dalam mendalami sanad-sanad hadits di masyriq (Timur), ia dianggap berhasil membuka arah baru keilmuan Islam di Andalus, banyak masyarakat yang mendengarkan hadits dan mengambil sanad darinya, ia bersama Baqi ibn Makhlad al-Qurtuby (w. 276H /889M) sebagai orang pertama yang membawa substansi ilmu hadits kemudian dijuluki sebagai pemrakarsa Madrasah Hadits di Andalus.


Baqi ibn Makhlad al-Qurtuby kembali ke Andalus dengan membawa sanad hadits dari gurunya, Abu Bakr ibn Abi Syaibah. Ia pun mengajarkan dan menjelaskan pentingnya disiplin ilmu hadits secarah riwayah ataupun dirayah. Dengan begitu, ia telah berhasil membuat transisi dalam sejarah Andalus yang mulanya mempelajari hukum Maliki ke mempelajari hadits.


Tapi, tidak sedikit juga diantara mereka yang fanatik buta menentang masuknya kajian hadits di Andalus, seperti perkataannya seorang ahli fikih Andalusia bernama Asbagh ibn Khalil al-Qurtuby (w. 273H):

 لأن يكون في تابوتي رأس خنزير أحب إلي من أن يكون فيه مسند ابن أبي شيبة, artinya: "Aku lebih suka peti matiku diisi kepala babi ketimbang kitabnya (musnad) Ibn Abi Syaibah"


Beberapa dekade setelah itu, banyak ulama Andalus yang juga tertarik untuk mempelajari hadits dan mengambil sanad langsung ke banyak perawi di Timur, diantara mereka yang masyhur adalah: Muhammad ibn Yahya ibn Zakaria ibn Barthal al-Qurtuby, Abdullah al-Juhany at-Thulaithuli, dan Abdullah ibn Ibrahim ibn Muhammad al-Ashili. Mereka bertiga lah yang dianggap pertama kali membawa dan menyebarkan kitab Shahih Bukhari di Andalus.


Saat ini, di beberapa kampus kita sering menjumpai sebagian dosen atau bahkan ulama hadits yang cenderung menempatkan kitab al-Muwatha' karya Imam Malik sebagai kitab hadits pertama dalam jajaran al-Kutub as-Sittah, alias kitab tershahih di dunia setelah Al-Quran. Wajar, karena sejarahnya mereka lebih dulu mengenal kitab tersebut sebelum munculnya kitab Shahih Bukhari di Maroko dan Andalus.



Referensi:

Housaisin, Abdelhadi. Madzhāhir an-Nahdhah al-Hadītsiyyah fī 'ahdi Ya'kūb al-Manshūr al-Muwahhidī, jilid 1, 1983.


al-Yahshubi, Al Qadi 'Iyâd. Tartīb al-Madārik, jilid 3 dan 4, Rabat, 1983.


Rustum, Zainal Abidin. As-Shahīhān fî al-Andalus min al-Qarn al-Khāmis ila al-Qarn at-Tsāmin al-Hijri, Lebanon, 2010.