BREAKING NEWS
latest

Advertisement

Mencermati Keserupaan Persaingan Dunia (Era Modern - Pascaklasik)

Ketegangan yang terjadi antara Timur dan Barat dunia kini semakin memuncak, hal itu dipicu oleh isu-isu sensitif menyangkut kecanggihan beberapa negara super power yang menjadi motif timbulnya perang dunia ketiga.

Persaingan seperti ini ternyata sudah ada sejak permulaan abad ke-10 lalu, dimana Dinasti Umayyah masih membentangkan sayapnya di Barat menyaingi kekhalifahan Dinasti Abbasiyah yang baru bangkit di Timur dan berpusat di Baghdad-Irak.

Selama kekuasaan Abdur Rahman bin Muawiyah atau dikenal dengan Abdur Rahman I, lalu dilanjutkan oleh Abdur Rahman II, hingga Abdur Rahman III, mereka berhasil memprakarsai gerakan intelektual yang membuat Spanyol-Islam menjadi salah satu pusat kebudayaan di dunia.
Islam ketika itu berjaya di Andalus, Eropa sejak abad ke-9 hingga 11 Masehi.

Melihat realita yang terjadi pada abad modern ini, ada beberapa perbedaan dan juga kesamaan yang bisa kita cerna. Amerika terus berupaya menguasai dunia dengan keilmuannya dalam bidang teknologi, begitu juga di Timur, China ikut merespon kesombongan Negeri Paman Sam dan bekerja sama dengan Rusia dalam menemukan teknologi nuklir tandingannya.

Sangat disayangkan jika peristiwa dahsyat alias perang nuklir itu terjadi. Tidak hanya pemicu dan target yang menjadi sasaran, melainkan juga berimbas kepada negara-negara kecil lain yang sedang mengalami masa pubertas.

Yang biasa terjadi adalah diciptakannya virus, lalu pihak seberang menciptakan antivirus. Sedangkan yang terjadi saat ini malah mereka membuat virus tandingan yang lebih hebat. Pertanyaannya, adakah tokoh yang membuat antivirus untuk menangkal semua kehebatan virus itu? Saya pikir, manusia sudah mengambil tindakan yang tidak logis adanya. Haruskah saya dan Anda-Anda berimigrasi ke planet sebelah?

Adapun perbedaan yang terjadi bahwa seribu tahun silam persaingan intelektual di dunia diperankan oleh umat islam, sedangkan sekarang mereka yang menjadi tokoh utama. Ke mana aktor-aktor cendekiawan muslim saat ini?

19800 Detik Menuju Koln (Chapter 2)


            Aku melihat satu persatu penumpang berdiri mengenakan ransel dan memperbaiki pakaiannya yang lusuh. Masih dengan perasaan bimbang aku mengikuti langkah mereka keluar dari bus Eurolines ini. Saat menginjakkan kaki di terminal Koln aku melihat keramaian manusia yang berlalu-lalang. Beberapa bus besar tampak terpakir berderet di sekitar terminal menurunkan penumpang. Mataku kembali menangkap pesona keindahan kota ini dengan Katedral megahnya yang menjulang tinggi.

            Aku kembali melangkahkan kaki menjauh dari bus. Sejenak aku berhenti dan memperhatikan satu persatu bule yang lewat. Begitu padat. Mataku mencari-cari sosok berjilbab di sekitarnya, namun nihil. Aku tidak mengenal satupun dari mereka. Hatiku terus berharap kak Sari berada di tempatku menunggu saat ini. Sesekali aku melihat fotonya yang sempat aku download dari facebook sebelum berangkat tadi pagi.

            Aku mencoba mengikuti orang-orang sekitar. Namun aku bingung, mereka menuju ke berbagai arah, pastinya memiliki tujuan masing-masing. Tapi kebanyakan mereka memasuki sebuah gedung luas yang berada tepat di sebelah katedral. Aku meyakinkan diri dan terus melangkah, berharap bisa menemukan jaringan wifi.

            Tiba di dalam gedung, aku terus bergerak sambil sesekali menatap layar hp mencari jaringan. Karena wifi yang tersedia begitu banyak lalu aku mencoba mengkoneksikannya satu persatu. Alhamdulillah tersambung. Aku langsung menghubungi kak Sari. Sebelumnya aku melihat beberapa pesan yang dikirimkan olehnya menanyakan keberadaanku.

            “Halo, kakak di mana?” tanpa basa-basi aku langsung menanyakan keberadaannya karena cemas sendirian.

            “Kakak nungguin di luar dari tadi, kamu di mana?”

            “Aku di dalam gedung dekat terminal kak, kelihatannya kayak stasiun gitu, ada jadwal keberangkatannya.”

            Aku mencoba menjelaskan tempat di mana aku berada. Setelah memperhatikan seisi gedung, aku meyakini tempat luas ini ialah sebuah stasiun kereta api meskipun gerbong keretanya tidak terlihat olehku.

“Iya itu Köln Hauptbahnhof dek! Stasiun sentral kota Koln. Ya sudah, tunggu di situ kakak nyusul ya!” ujar kak Sari.

             Tidak lama, tampak sosok wanita Asia berjilbab biru berjalan memasuki area gedung ini. Postur tubuh dan wajahnya mirip dengan foto yang aku download, benar dugaanku bahwa wanita itu adalah kak Sari. Aku langsung menghampirinya.

“Azhar?!” tanyanya.

“Iya…! Saya Azhari. Kak Sari kan?? Salam kenal kak, hehe.” tanyaku balik. Aku merasa lega bertemu dengannya karena sedari tadi aku hanya merasa bagai anak hilang di negeri Nazi.

“Iya Zhar, kakak sudah lama nunggu di luar tadi, mungkin karena ramai jadi ngga kelihatan ya, hehehe.. gimana perjalanannya? Seru kan?! Sudah jadi anak Belanda ya sekarang haha.

Hahaha, ya begitulah kira-kira kak, tadi sempat diperiksa dua kali di perbatasan sama polisi Jerman. Biasanya memang begitu ya kak?” tanyaku penasaran.

Stasiun Hauptbahnhof terlihat sesak dipadati penumpang dari berbagai ras. Sambil berbincang-bincang, aku mengikuti langkah kak Sari menuju Katedral Koln.
            “Iya Jerman memang lebih ketat dibandingkan negara lain dek, tapi ngga ada masalah kan? Orang Jerman juga banyak yang tahu tentang Indonesia kok. Oh ya, ngga capek kan Zhar, kita jalan-jalan sekarang aja mumpung kakak lagi weekend.”

            Tidak lama, aku dan kak Sari sampai ke Katedral Koln, ikonnya kota ini. Sambil berjalan aku selalu menengadah ke atas karena saking tinggi dan megahnya. Dipandang dari sisi keagamaan, seorang muslim sepertiku tidak pantas memuji-muji tempat ibadah umat kafir ini. Tapi aku sama sekali tidak memujinya, hanya saja arsitektur bangunan dan usianya yang tua mengingatkanku akan sejarah dulu. Aku membayangkan bagaimana jika dahulu umat Islam dibawah komando seorang tabi'in 'Abdurrahman bin Abdullah el-Ghafiqi memenangkan pertempuran melawan pasukan bersenjata Franka dibawah pimpinan Charles Martel, pastinya yang saat ini aku lihat bukanlah katedral, melainkan masjid-masjid megah di tanah Eropa. Namun sayangnya, umat islam tidak memenangkan pertempuran itu. Bahkan karena kezaliman penguasanya, mereka harus terusir dari tanah Andalus atau yang kita kenal sebagai negara Spanyol saat ini. Mereka diberikan pilihan agar masuk ke dalam agama kristen ataupun diusir dari bumi Eropa, banyak juga dari mereka yang dibunuh.

“Zhar! Kamu mikirin apa kok serius banget lihat katedralnya?! Sudah, ayo jangan lama-lama, nanti kamu i’tikafnya di masjid saja jangan di sini, hahaha.” tegur kak Sari.

“Kita ke mana lagi kak?” tanyaku penasaran.
            “Sudah jangan banyak tanya, ikut saja!”
           
           
            Aku hanya tersenyum dan menghampiri langkah kak Sari. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, akhirnya sampailah ke sebuah jembatan besar yang aku lihat saat di bus. Aku memperhatikan kerangka baja jembatan ini yang berumur tua dan masih kokoh. Jembatan ini dibangun sebagai lalu lintas kereta untuk menyeberangi sebuah sungai b    esar di kota Koln. Di sebelah deretan rel kereta juga terdapat lintasan kecil untuk pejalan kaki. Mataku menyorot sebuah kapal besar dan panjang sedang melewati bawah jembatan. Kapal itu membawa tumpukan aspal. Beberapa kapal besar lainnya juga ikut berlayar di sungai ini. Saat menoleh ke sebelah kiri, tiba-tiba aku tertegun lalu menghentikan langkah. Beberapa turis berambut pirang sedang membidik kameranya ke arah pagar yang dipenuhi oleh jutaan gembok.

             “Kak, itu apa? Kok banyak gembok gitu digantung-gantung?” tanyaku heran.

            “Itu kata orang-orang gembok cinta dek, orang sini memasang sepasang gembok dengan kekasihnya di tempat-tempat indah seperti ini lalu kuncinya mereka buang bersama-sama. Katanya sih biar cinta mereka terkunci dan akan menjadi abadi. Salah satu cara mengekspresikan cinta yang dipercaya oleh penduduk sini. Kamu percaya? Buktikan aja Zhar, nanti kakak beli gemboknya,hahaha."


            “Hahaha… kok bisa ya bangsa Eropa yang berpikir modern juga percaya dengan hal-hal begituan?!” tanyaku sambil menggelengkan kepala.

“Oh ya kak, aku sebenarnya ke Jerman mau lihat bekas-bekas Nazi dulu, kan negara ini dikenal dengan Adolf Hitler dan Nazinya, tapi dari tadi kok aku belum nemu ya, bahkan gedung-gedung yang aku lihat sekarang beda dengan yang aku bayangkan. Malah kota ini terlihat modern gitu?!”


“Iya Koln memang kotanya sudah lebih modern dek, habis ini kita ke Brühl, di sana ada istana yang masih terlihat klasik, terus kita ke Bonn, kan kakak tinggal di Bonn.”



Loh, kakak bukannya tinggal di sini? Bonn itu di mana?” tanyaku bingung.


“Bonn itu ngga jauh dari sini kok, cuma naik kereta saja sekitar setengah jam sampai, kalau Brühl itu sebelum kota Bonn. Di Bonn nanti kamu bisa lihat rumahnya Beethoven, musisi Eropa terkenal, alun-alunnya, terus kita ke museum, dan terakhir nanti singgah di kampus kakak sebelum ke rumah.”

“Kakak tinggal sendiri di Bonn?”

“Iya dek, kakak tinggal di asrama, tapi nanti kamu nginap di rumah bang Zuhra kok, dia anak Aceh juga. Nanti kita ketemuan di kampus biar kamu kenal.” jawab kak Sari. “Oh ya, di sini kamu hati-hati sebut-sebut tentang Nazi atau Adolf Hitler dek.”

           “Loh, memangnya kenapa kak?” tanyaku penasaran. (BERSAMBUNG)

19800 Detik Menuju Koln (Chapter 1)





2 Agustus 2015. Bus Eurolines tujuan Jerman terus melaju kencang. Jalanan dipadati kendaraan namun tetap tertib mengikuti kelok aspal hitam. Transportasi lintas negara berupa bus adalah pilihan utama bagi mereka yang ingin melancong di Eropa. Selain terbilang murah, juga cukup nyaman, terutama bagiku sebagai masyarakat kelas bawah. Pagi itu, tepat pukul 07.45 aku berangkat dari kota Amsterdam dan hendak menziarahi negara Hitler. Ya, negara Jerman, siapa yang tidak mengenal salah satu negara super power di dunia. Bahkan setiap kali kita mendengar nama negara itu disebut, sekilas kita langsung terbayang dengan Nazinya. Well, memang sejarah Nazi dan Adolf Hitler yang hampir menguasai dunia itu nyaris membekas di seluruh pikiran umat manusia. Tapi itu hanyalah pikiran mereka yang belum pernah ke Jerman saat ini. Why?? Simak saja dulu ceritanya, hehehe.

           Jerman.. Jerman.. Jerman.. kata-kata yang selalu aku sebutkan di sepanjang perjalanan. Perjalanan sekitar empat jam dari Amsterdam cukup membosankan bagiku. Aku perhatikan sekeliling, sepasang bule duduk tepat di deretan bangku sebelahku. Mereka juga asyik menyaksikan pemandangan sepanjang jalan. Aku coba memahami bahasa yang mereka lafalkan. Bahasa Inggris. Kemungkinan mereka ialah bule asal Amerika ataupun penduduk pribumi Belanda. Di belakang aku duduk terdengar suara parau lelaki tua sedang bercanda tawa dengan istrinya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Dugaanku mereka berbicara menggunakan bahasa Jerman. Karena aku duduk di kursi terdepan aku tidak berani menoleh ke arah mereka maupun ke penumpang lainnya di bangku belakang karena takut jadi pusat perhatian. Sementara aku hanya ditemani oleh ransel besar di sebelahku.


           Setelah melalui sekitar dua jam perjalanan, tiba-tiba bus yang aku tumpangi berhenti. Dua lelaki berpakaian rompi hitam dengan senjata laras panjang masuk ke dalam bus melalui pintu depan. Aku melihat punggungnya tertulis polizei. Pikiranku langsung menebak bahwa mereka adalah polisi Jerman. Tapi apa yang akan dilakukannya? Mungkinkah mereka hendak menumpangi bus ini?


           Sopir bus mempersilahkan kedua polisi itu menghampiri penumpang. Aku tertegun saat si polisi menghampiriku karena duduk paling muka.  Awalnya aku tidak memahami apa yang diucapkannya. Tapi setelah kembali mendengarkan kata-kata paspor yang ia ucapkan, aku langsung merogoh saku dan menunjukkan tanda pengenal itu kepadanya. Setelah melihatnya, paspor itu dikembalikan kepadaku, lalu ia menghampiri penumpang lain dan meminta hal serupa.


           Setelah selesai pemeriksaan, sopir kembali menjalankan busnya. Aku sedikit tenang. Setiap orang yang ditanyakan sesuatu oleh polisi pasti merasa sedikit gugup, terlebih polisi negara asing dengan bahasa yang tidak kita pahami. Aku gugup karena takut tidak bisa memenuhi permintaannya.


           Tidak lama setelah itu, bus kembali berhenti. Aku kembali penasaran lalu melihat kea rah luar jendela. Dari seberang jalan terlihat beberapa mobil dan truk juga berjalan pelan lalu berhenti mengikuti perintah seorang polisi. Penumpang lain juga tampak bingung dan merasa cemas. Lagi-lagi dua polisi masuk ke dalam bus. Seorang lelaki bertubuh besar dengan rompi tebal menghampiri penumpang di bangku seberang kanan, sedangkan bule cantik berambut pirang menghampiriku dan meminta izin memeriksa ransel besar milikku. Aku mengizinkannya. Ia juga meminta pasporku, dengan segera aku merogohkan saku dan memberikannya. Sempat ia melihat ke arahku: “Indonesia?” tanyanya sembari tersenyum.


Aku yang semula khawatir menjadi sedikit tenang melihat senyuman itu, pertanda tidak terjadi apa-apa.

           “Yes, I am, madam.” jawabku membalas senyumannya.

           “Selamat datang ke Jerman.” ucap si bule dengan logat khasnya mengejutkanku. Serontak aku tercengang. Ternyata polwan cantik itu bisa berbahasa Indonesia. Aku tidak tahu apakah benar-benar bisa ataukah hanya sekedar tahu sapaan-sapaan singkat seperti itu. Lalu ia menghampiri penumpang di belakangku. Sementara lelaki bertubuh besar masih memeriksa ransel penumpang di bangku seberang. Satu persatu barang bawaannya dibuka dan diperhatikan dengan seksama. Entah apa yang ia cari, pastinya sesuatu yang terlarang. Memang sih, sebelumnya aku pernah mendapatkan kabar kalau Jerman adalah negara yang sangat ketat dan sering terjadi razia polisi di wilayah perbatasannya terutama menyangkut tentang barang-barang terlarang alias narkoba. Kemungkinan besar sama seperti yang ku alami saat itu. Namun beruntung tidak ada penumpang yang mecurigakan di dalam bus yang aku tumpangi itu, dan bus pun kembali berjalan tenang.

Aku melihat jam tangan. Waktu menunjukkan tepat pukul 11.45, berarti lima belas menit lagi aku sampai di terminal kota Koln seperti yang tertera di tiket bus. Aku kembali menoleh ke arah luar jendela. Tiba-tiba mataku terbelalak dan dimanjakan oleh sebuah bangunan tinggi nan tua yang berdiri kokoh dari kejauhan. Bangunan dengan arsitektur khas katedral Eropa itu begitu unik, sama seperti di foto-foto internet yang aku lihat. Tidak jauh darinya tampak jembatan lengkung dan besar yang juga terlihat sangat indah. Aku sudah tidak sabar hendak menghampirinya. Menyadari akan tiba di tempat tujuan aku langsung mengambil handphone ingin mengabari kak Sari. Oh ya, kak Sari adalah salah satu mahasiswi Ph.D di Jerman yang juga serumpun denganku berasal dari Aceh. Aku tidak kenal dengannya karena tidak pernah bertemu langsung, hanya saja aku mendapatkan kontak beliau dari facebook karena aku belum pernah mengunjungi negara Nazi, kebetulan beliau sedang tidak ada kegiatan dan bisa menemaniku jalan-jalan.

          
Aku kaget. Jaringan di hpku roaming.Gimana aku mau hubungi kak Sari??” ujar hatiku bingung. Awalnya aku mengira akan bisa mengakses jaringan sinyal apapun selagi masih berada di wilayah Uni Eropa seperti halnya bus ini. Tapi ternyata dugaanku salah. Aku kembali merenung memikirkan solusi. “Udah pigi sendirian, ngga ada satupun orang yang aku kenal, bahasa Jerman juga aku ngga ngerti, ditambah hp juga ngga ada sinyal, duh!!” aku mengoceh sendiri di dalam bus.

           Tiba-tiba bus mulai berjalan pelan lalu memasuki terminal besar. Mataku kembali terbelalak saat menoleh keluar. Ternyata, terminal Koln itu berada tepat di sebelah Katedral yang aku lihat dari jauh tadi. Aku terperangah melihat ketinggian bangunannya. Sejenak aku mulai melupakan keluhanku akan jaringan telepon itu.

           Sebelumnya aku sempat mencari tahu seperti apa panorama kota Koln. Saat searching, lagi-lagi yang muncul adalah berupa katedral dan jembatan, aku mengira bangunan unik itu ialah ikonnya kota Koln. Akupun tertarik melihat arsitektur bangunannya. Di internet juga aku melihat bangunan kuno itu bernama Köln Dom, yaitu sebuah katedral yang dibangun pada abad ke-13 Masehi. Koln Dom saat ini juga menjadi salah satu situs warisan budaya dunia UNESCO di Eropa sehingga menjadikannya daya tarik bagi banyak turis yang berkunjung ke kota ini.
Sie haben Sir angekommen. Willkommen zu Koln.” ucap sopir bus mengejutkanku yang sedang melamun. (BERSAMBUNG)