Aku melihat satu persatu penumpang berdiri
mengenakan ransel dan memperbaiki pakaiannya yang lusuh. Masih dengan perasaan
bimbang aku mengikuti langkah mereka keluar dari bus Eurolines ini. Saat
menginjakkan kaki di terminal Koln aku melihat keramaian manusia yang
berlalu-lalang. Beberapa bus besar tampak terpakir berderet di sekitar terminal
menurunkan penumpang. Mataku kembali menangkap pesona keindahan kota ini dengan
Katedral megahnya yang menjulang tinggi.
Aku kembali
melangkahkan kaki menjauh dari bus. Sejenak aku berhenti dan memperhatikan satu
persatu bule yang lewat. Begitu padat. Mataku mencari-cari sosok berjilbab di
sekitarnya, namun nihil. Aku tidak mengenal satupun dari mereka. Hatiku
terus berharap kak Sari berada di tempatku menunggu saat ini. Sesekali aku
melihat fotonya yang sempat aku download dari facebook sebelum berangkat tadi
pagi.
Aku mencoba
mengikuti orang-orang sekitar. Namun aku bingung, mereka menuju ke berbagai
arah, pastinya memiliki tujuan masing-masing. Tapi kebanyakan mereka memasuki
sebuah gedung luas yang berada tepat di sebelah katedral. Aku meyakinkan diri
dan terus melangkah, berharap bisa menemukan jaringan wifi.
Tiba di dalam
gedung, aku terus bergerak sambil sesekali menatap layar hp mencari jaringan.
Karena wifi yang tersedia begitu banyak lalu aku mencoba mengkoneksikannya satu
persatu. Alhamdulillah tersambung. Aku langsung menghubungi kak
Sari. Sebelumnya aku melihat beberapa pesan yang dikirimkan olehnya menanyakan
keberadaanku.
“Halo,
kakak di mana?” tanpa basa-basi aku langsung menanyakan keberadaannya karena
cemas sendirian.
“Kakak
nungguin di luar dari tadi, kamu di mana?”
“Aku
di dalam gedung dekat terminal kak, kelihatannya kayak stasiun
gitu, ada jadwal keberangkatannya.”
Aku mencoba
menjelaskan tempat di mana aku berada. Setelah memperhatikan seisi gedung, aku
meyakini tempat luas ini ialah sebuah stasiun kereta api meskipun gerbong
keretanya tidak terlihat olehku.
“Iya itu Köln Hauptbahnhof dek! Stasiun sentral kota Koln.
Ya sudah, tunggu di situ kakak nyusul ya!” ujar kak Sari.
Tidak lama, tampak sosok wanita Asia berjilbab biru berjalan
memasuki area gedung ini. Postur tubuh dan wajahnya mirip dengan foto yang aku download,
benar dugaanku bahwa wanita itu adalah kak Sari. Aku langsung menghampirinya.
“Azhar?!” tanyanya.
“Iya…! Saya Azhari. Kak Sari kan?? Salam kenal kak, hehe.” tanyaku
balik. Aku merasa lega bertemu dengannya karena sedari tadi aku hanya merasa
bagai anak hilang di negeri Nazi.
“Iya Zhar, kakak sudah lama nunggu di luar tadi, mungkin
karena ramai jadi ngga kelihatan ya, hehehe.. gimana
perjalanannya? Seru kan?! Sudah jadi anak Belanda ya sekarang haha.”
“Hahaha, ya begitulah kira-kira kak, tadi sempat diperiksa
dua kali di perbatasan sama polisi Jerman. Biasanya memang begitu ya kak?”
tanyaku penasaran.
Stasiun Hauptbahnhof terlihat sesak dipadati penumpang
dari berbagai ras. Sambil
berbincang-bincang, aku mengikuti langkah kak Sari menuju Katedral Koln.
“Iya
Jerman memang lebih ketat dibandingkan negara lain dek, tapi ngga ada
masalah kan? Orang Jerman juga banyak yang tahu tentang Indonesia kok.
Oh ya, ngga capek kan Zhar, kita jalan-jalan sekarang aja mumpung kakak
lagi weekend.”
Tidak lama, aku dan kak
Sari sampai ke Katedral Koln, ikonnya kota ini. Sambil berjalan aku selalu
menengadah ke atas karena saking tinggi dan megahnya. Dipandang dari sisi
keagamaan, seorang muslim sepertiku tidak pantas memuji-muji tempat ibadah umat
kafir ini. Tapi aku sama sekali tidak memujinya, hanya saja arsitektur bangunan
dan usianya yang tua mengingatkanku akan sejarah dulu. Aku membayangkan
bagaimana jika dahulu umat Islam dibawah komando seorang tabi'in
'Abdurrahman bin Abdullah el-Ghafiqi memenangkan pertempuran melawan pasukan
bersenjata Franka dibawah pimpinan Charles Martel, pastinya yang saat ini aku
lihat bukanlah katedral, melainkan masjid-masjid megah di tanah Eropa. Namun
sayangnya, umat islam tidak memenangkan pertempuran itu. Bahkan karena
kezaliman penguasanya, mereka harus terusir dari tanah Andalus atau yang kita
kenal sebagai negara Spanyol saat ini. Mereka diberikan pilihan agar masuk ke
dalam agama kristen ataupun diusir dari bumi Eropa, banyak juga dari mereka
yang dibunuh.
“Zhar! Kamu mikirin apa kok
serius banget lihat katedralnya?! Sudah, ayo jangan lama-lama, nanti kamu
i’tikafnya di masjid saja jangan di sini, hahaha.” tegur kak Sari.
“Kita ke mana lagi kak?” tanyaku penasaran.
“Sudah jangan banyak
tanya, ikut saja!”
Aku
hanya tersenyum dan menghampiri langkah kak Sari. Setelah berjalan sekitar
sepuluh menit, akhirnya sampailah ke sebuah jembatan besar yang aku lihat saat
di bus. Aku memperhatikan kerangka baja jembatan ini yang berumur tua dan masih
kokoh. Jembatan ini dibangun sebagai lalu lintas kereta untuk menyeberangi
sebuah sungai b esar di kota Koln. Di sebelah deretan rel kereta juga terdapat
lintasan kecil untuk pejalan kaki. Mataku menyorot sebuah kapal besar dan
panjang sedang melewati bawah jembatan. Kapal itu membawa tumpukan aspal.
Beberapa kapal besar lainnya juga ikut berlayar di sungai ini. Saat menoleh ke
sebelah kiri, tiba-tiba aku tertegun lalu menghentikan langkah. Beberapa turis
berambut pirang sedang membidik kameranya ke arah pagar yang dipenuhi oleh
jutaan gembok.
“Kak,
itu apa? Kok banyak gembok gitu digantung-gantung?” tanyaku heran.
“Itu
kata orang-orang gembok cinta dek, orang sini memasang sepasang gembok dengan
kekasihnya di tempat-tempat indah seperti ini lalu kuncinya mereka buang
bersama-sama. Katanya sih biar cinta mereka terkunci dan akan menjadi abadi.
Salah satu cara mengekspresikan cinta yang dipercaya oleh penduduk sini. Kamu
percaya? Buktikan aja Zhar, nanti kakak beli gemboknya,hahaha."
“Hahaha… kok bisa ya bangsa Eropa yang berpikir
modern juga percaya dengan hal-hal begituan?!” tanyaku sambil menggelengkan
kepala.
“Oh ya kak, aku sebenarnya ke Jerman mau lihat bekas-bekas Nazi
dulu, kan negara ini dikenal dengan Adolf Hitler dan Nazinya, tapi dari tadi kok
aku belum nemu ya, bahkan gedung-gedung yang aku lihat sekarang beda dengan
yang aku bayangkan. Malah kota ini terlihat modern gitu?!”
“Iya Koln memang kotanya sudah lebih modern dek, habis ini kita ke Brühl,
di sana ada istana yang masih terlihat klasik, terus kita ke Bonn, kan kakak
tinggal di Bonn.”
“Loh, kakak bukannya tinggal di sini? Bonn itu di mana?”
tanyaku bingung.
“Bonn itu ngga jauh dari sini kok, cuma naik kereta
saja sekitar setengah jam sampai, kalau Brühl itu sebelum kota Bonn. Di Bonn
nanti kamu bisa lihat rumahnya Beethoven, musisi Eropa terkenal, alun-alunnya,
terus kita ke museum, dan terakhir nanti singgah di kampus kakak sebelum ke
rumah.”
“Kakak tinggal sendiri di Bonn?”
“Iya dek, kakak tinggal di asrama, tapi nanti kamu nginap di
rumah bang Zuhra kok, dia anak Aceh juga. Nanti kita ketemuan di
kampus biar kamu kenal.” jawab kak Sari. “Oh ya, di sini kamu hati-hati
sebut-sebut tentang Nazi atau Adolf Hitler dek.”
“Loh, memangnya kenapa kak?” tanyaku
penasaran. (BERSAMBUNG)
No comments
Post a Comment