BREAKING NEWS
latest

Advertisement

19800 Detik Menuju Koln (Chapter 2)


            Aku melihat satu persatu penumpang berdiri mengenakan ransel dan memperbaiki pakaiannya yang lusuh. Masih dengan perasaan bimbang aku mengikuti langkah mereka keluar dari bus Eurolines ini. Saat menginjakkan kaki di terminal Koln aku melihat keramaian manusia yang berlalu-lalang. Beberapa bus besar tampak terpakir berderet di sekitar terminal menurunkan penumpang. Mataku kembali menangkap pesona keindahan kota ini dengan Katedral megahnya yang menjulang tinggi.

            Aku kembali melangkahkan kaki menjauh dari bus. Sejenak aku berhenti dan memperhatikan satu persatu bule yang lewat. Begitu padat. Mataku mencari-cari sosok berjilbab di sekitarnya, namun nihil. Aku tidak mengenal satupun dari mereka. Hatiku terus berharap kak Sari berada di tempatku menunggu saat ini. Sesekali aku melihat fotonya yang sempat aku download dari facebook sebelum berangkat tadi pagi.

            Aku mencoba mengikuti orang-orang sekitar. Namun aku bingung, mereka menuju ke berbagai arah, pastinya memiliki tujuan masing-masing. Tapi kebanyakan mereka memasuki sebuah gedung luas yang berada tepat di sebelah katedral. Aku meyakinkan diri dan terus melangkah, berharap bisa menemukan jaringan wifi.

            Tiba di dalam gedung, aku terus bergerak sambil sesekali menatap layar hp mencari jaringan. Karena wifi yang tersedia begitu banyak lalu aku mencoba mengkoneksikannya satu persatu. Alhamdulillah tersambung. Aku langsung menghubungi kak Sari. Sebelumnya aku melihat beberapa pesan yang dikirimkan olehnya menanyakan keberadaanku.

            “Halo, kakak di mana?” tanpa basa-basi aku langsung menanyakan keberadaannya karena cemas sendirian.

            “Kakak nungguin di luar dari tadi, kamu di mana?”

            “Aku di dalam gedung dekat terminal kak, kelihatannya kayak stasiun gitu, ada jadwal keberangkatannya.”

            Aku mencoba menjelaskan tempat di mana aku berada. Setelah memperhatikan seisi gedung, aku meyakini tempat luas ini ialah sebuah stasiun kereta api meskipun gerbong keretanya tidak terlihat olehku.

“Iya itu Köln Hauptbahnhof dek! Stasiun sentral kota Koln. Ya sudah, tunggu di situ kakak nyusul ya!” ujar kak Sari.

             Tidak lama, tampak sosok wanita Asia berjilbab biru berjalan memasuki area gedung ini. Postur tubuh dan wajahnya mirip dengan foto yang aku download, benar dugaanku bahwa wanita itu adalah kak Sari. Aku langsung menghampirinya.

“Azhar?!” tanyanya.

“Iya…! Saya Azhari. Kak Sari kan?? Salam kenal kak, hehe.” tanyaku balik. Aku merasa lega bertemu dengannya karena sedari tadi aku hanya merasa bagai anak hilang di negeri Nazi.

“Iya Zhar, kakak sudah lama nunggu di luar tadi, mungkin karena ramai jadi ngga kelihatan ya, hehehe.. gimana perjalanannya? Seru kan?! Sudah jadi anak Belanda ya sekarang haha.

Hahaha, ya begitulah kira-kira kak, tadi sempat diperiksa dua kali di perbatasan sama polisi Jerman. Biasanya memang begitu ya kak?” tanyaku penasaran.

Stasiun Hauptbahnhof terlihat sesak dipadati penumpang dari berbagai ras. Sambil berbincang-bincang, aku mengikuti langkah kak Sari menuju Katedral Koln.
            “Iya Jerman memang lebih ketat dibandingkan negara lain dek, tapi ngga ada masalah kan? Orang Jerman juga banyak yang tahu tentang Indonesia kok. Oh ya, ngga capek kan Zhar, kita jalan-jalan sekarang aja mumpung kakak lagi weekend.”

            Tidak lama, aku dan kak Sari sampai ke Katedral Koln, ikonnya kota ini. Sambil berjalan aku selalu menengadah ke atas karena saking tinggi dan megahnya. Dipandang dari sisi keagamaan, seorang muslim sepertiku tidak pantas memuji-muji tempat ibadah umat kafir ini. Tapi aku sama sekali tidak memujinya, hanya saja arsitektur bangunan dan usianya yang tua mengingatkanku akan sejarah dulu. Aku membayangkan bagaimana jika dahulu umat Islam dibawah komando seorang tabi'in 'Abdurrahman bin Abdullah el-Ghafiqi memenangkan pertempuran melawan pasukan bersenjata Franka dibawah pimpinan Charles Martel, pastinya yang saat ini aku lihat bukanlah katedral, melainkan masjid-masjid megah di tanah Eropa. Namun sayangnya, umat islam tidak memenangkan pertempuran itu. Bahkan karena kezaliman penguasanya, mereka harus terusir dari tanah Andalus atau yang kita kenal sebagai negara Spanyol saat ini. Mereka diberikan pilihan agar masuk ke dalam agama kristen ataupun diusir dari bumi Eropa, banyak juga dari mereka yang dibunuh.

“Zhar! Kamu mikirin apa kok serius banget lihat katedralnya?! Sudah, ayo jangan lama-lama, nanti kamu i’tikafnya di masjid saja jangan di sini, hahaha.” tegur kak Sari.

“Kita ke mana lagi kak?” tanyaku penasaran.
            “Sudah jangan banyak tanya, ikut saja!”
           
           
            Aku hanya tersenyum dan menghampiri langkah kak Sari. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, akhirnya sampailah ke sebuah jembatan besar yang aku lihat saat di bus. Aku memperhatikan kerangka baja jembatan ini yang berumur tua dan masih kokoh. Jembatan ini dibangun sebagai lalu lintas kereta untuk menyeberangi sebuah sungai b    esar di kota Koln. Di sebelah deretan rel kereta juga terdapat lintasan kecil untuk pejalan kaki. Mataku menyorot sebuah kapal besar dan panjang sedang melewati bawah jembatan. Kapal itu membawa tumpukan aspal. Beberapa kapal besar lainnya juga ikut berlayar di sungai ini. Saat menoleh ke sebelah kiri, tiba-tiba aku tertegun lalu menghentikan langkah. Beberapa turis berambut pirang sedang membidik kameranya ke arah pagar yang dipenuhi oleh jutaan gembok.

             “Kak, itu apa? Kok banyak gembok gitu digantung-gantung?” tanyaku heran.

            “Itu kata orang-orang gembok cinta dek, orang sini memasang sepasang gembok dengan kekasihnya di tempat-tempat indah seperti ini lalu kuncinya mereka buang bersama-sama. Katanya sih biar cinta mereka terkunci dan akan menjadi abadi. Salah satu cara mengekspresikan cinta yang dipercaya oleh penduduk sini. Kamu percaya? Buktikan aja Zhar, nanti kakak beli gemboknya,hahaha."


            “Hahaha… kok bisa ya bangsa Eropa yang berpikir modern juga percaya dengan hal-hal begituan?!” tanyaku sambil menggelengkan kepala.

“Oh ya kak, aku sebenarnya ke Jerman mau lihat bekas-bekas Nazi dulu, kan negara ini dikenal dengan Adolf Hitler dan Nazinya, tapi dari tadi kok aku belum nemu ya, bahkan gedung-gedung yang aku lihat sekarang beda dengan yang aku bayangkan. Malah kota ini terlihat modern gitu?!”


“Iya Koln memang kotanya sudah lebih modern dek, habis ini kita ke Brühl, di sana ada istana yang masih terlihat klasik, terus kita ke Bonn, kan kakak tinggal di Bonn.”



Loh, kakak bukannya tinggal di sini? Bonn itu di mana?” tanyaku bingung.


“Bonn itu ngga jauh dari sini kok, cuma naik kereta saja sekitar setengah jam sampai, kalau Brühl itu sebelum kota Bonn. Di Bonn nanti kamu bisa lihat rumahnya Beethoven, musisi Eropa terkenal, alun-alunnya, terus kita ke museum, dan terakhir nanti singgah di kampus kakak sebelum ke rumah.”

“Kakak tinggal sendiri di Bonn?”

“Iya dek, kakak tinggal di asrama, tapi nanti kamu nginap di rumah bang Zuhra kok, dia anak Aceh juga. Nanti kita ketemuan di kampus biar kamu kenal.” jawab kak Sari. “Oh ya, di sini kamu hati-hati sebut-sebut tentang Nazi atau Adolf Hitler dek.”

           “Loh, memangnya kenapa kak?” tanyaku penasaran. (BERSAMBUNG)

« PREV
NEXT »

No comments