2 Agustus 2015. Bus Eurolines tujuan Jerman terus melaju kencang. Jalanan dipadati kendaraan namun tetap tertib mengikuti kelok aspal hitam. Transportasi lintas negara berupa bus adalah pilihan utama bagi mereka yang ingin melancong di Eropa. Selain terbilang murah, juga cukup nyaman, terutama bagiku sebagai masyarakat kelas bawah. Pagi itu, tepat pukul 07.45 aku berangkat dari kota Amsterdam dan hendak menziarahi negara Hitler. Ya, negara Jerman, siapa yang tidak mengenal salah satu negara super power di dunia. Bahkan setiap kali kita mendengar nama negara itu disebut, sekilas kita langsung terbayang dengan Nazinya. Well, memang sejarah Nazi dan Adolf Hitler yang hampir menguasai dunia itu nyaris membekas di seluruh pikiran umat manusia. Tapi itu hanyalah pikiran mereka yang belum pernah ke Jerman saat ini. Why?? Simak saja dulu ceritanya, hehehe.
Jerman.. Jerman.. Jerman.. kata-kata yang selalu aku sebutkan di sepanjang perjalanan. Perjalanan sekitar empat jam dari Amsterdam cukup membosankan bagiku. Aku perhatikan sekeliling, sepasang bule duduk tepat di deretan bangku sebelahku. Mereka juga asyik menyaksikan pemandangan sepanjang jalan. Aku coba memahami bahasa yang mereka lafalkan. Bahasa Inggris. Kemungkinan mereka ialah bule asal Amerika ataupun penduduk pribumi Belanda. Di belakang aku duduk terdengar suara parau lelaki tua sedang bercanda tawa dengan istrinya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Dugaanku mereka berbicara menggunakan bahasa Jerman. Karena aku duduk di kursi terdepan aku tidak berani menoleh ke arah mereka maupun ke penumpang lainnya di bangku belakang karena takut jadi pusat perhatian. Sementara aku hanya ditemani oleh ransel besar di sebelahku.
Setelah melalui sekitar dua jam perjalanan, tiba-tiba bus yang aku tumpangi berhenti. Dua lelaki berpakaian rompi hitam dengan senjata laras panjang masuk ke dalam bus melalui pintu depan. Aku melihat punggungnya tertulis polizei. Pikiranku langsung menebak bahwa mereka adalah polisi Jerman. Tapi apa yang akan dilakukannya? Mungkinkah mereka hendak menumpangi bus ini?
Sopir bus mempersilahkan kedua polisi itu menghampiri penumpang. Aku tertegun saat si polisi menghampiriku karena duduk paling muka. Awalnya aku tidak memahami apa yang diucapkannya. Tapi setelah kembali mendengarkan kata-kata paspor yang ia ucapkan, aku langsung merogoh saku dan menunjukkan tanda pengenal itu kepadanya. Setelah melihatnya, paspor itu dikembalikan kepadaku, lalu ia menghampiri penumpang lain dan meminta hal serupa.
Setelah selesai pemeriksaan, sopir kembali menjalankan busnya. Aku sedikit tenang. Setiap orang yang ditanyakan sesuatu oleh polisi pasti merasa sedikit gugup, terlebih polisi negara asing dengan bahasa yang tidak kita pahami. Aku gugup karena takut tidak bisa memenuhi permintaannya.
Tidak lama setelah itu, bus kembali berhenti. Aku kembali penasaran lalu melihat kea rah luar jendela. Dari seberang jalan terlihat beberapa mobil dan truk juga berjalan pelan lalu berhenti mengikuti perintah seorang polisi. Penumpang lain juga tampak bingung dan merasa cemas. Lagi-lagi dua polisi masuk ke dalam bus. Seorang lelaki bertubuh besar dengan rompi tebal menghampiri penumpang di bangku seberang kanan, sedangkan bule cantik berambut pirang menghampiriku dan meminta izin memeriksa ransel besar milikku. Aku mengizinkannya. Ia juga meminta pasporku, dengan segera aku merogohkan saku dan memberikannya. Sempat ia melihat ke arahku: “Indonesia?” tanyanya sembari tersenyum.
Aku yang semula khawatir menjadi sedikit tenang melihat senyuman itu, pertanda tidak terjadi apa-apa.
“Yes, I am, madam.” jawabku membalas senyumannya.
“Selamat datang ke Jerman.” ucap si bule dengan logat khasnya mengejutkanku. Serontak aku tercengang. Ternyata polwan cantik itu bisa berbahasa Indonesia. Aku tidak tahu apakah benar-benar bisa ataukah hanya sekedar tahu sapaan-sapaan singkat seperti itu. Lalu ia menghampiri penumpang di belakangku. Sementara lelaki bertubuh besar masih memeriksa ransel penumpang di bangku seberang. Satu persatu barang bawaannya dibuka dan diperhatikan dengan seksama. Entah apa yang ia cari, pastinya sesuatu yang terlarang. Memang sih, sebelumnya aku pernah mendapatkan kabar kalau Jerman adalah negara yang sangat ketat dan sering terjadi razia polisi di wilayah perbatasannya terutama menyangkut tentang barang-barang terlarang alias narkoba. Kemungkinan besar sama seperti yang ku alami saat itu. Namun beruntung tidak ada penumpang yang mecurigakan di dalam bus yang aku tumpangi itu, dan bus pun kembali berjalan tenang.
Aku kaget. Jaringan di hpku roaming. “Gimana aku mau hubungi kak Sari??” ujar hatiku bingung. Awalnya aku mengira akan bisa mengakses jaringan sinyal apapun selagi masih berada di wilayah Uni Eropa seperti halnya bus ini. Tapi ternyata dugaanku salah. Aku kembali merenung memikirkan solusi. “Udah pigi sendirian, ngga ada satupun orang yang aku kenal, bahasa Jerman juga aku ngga ngerti, ditambah hp juga ngga ada sinyal, duh!!” aku mengoceh sendiri di dalam bus.
Tiba-tiba bus mulai berjalan pelan lalu memasuki terminal besar. Mataku kembali terbelalak saat menoleh keluar. Ternyata, terminal Koln itu berada tepat di sebelah Katedral yang aku lihat dari jauh tadi. Aku terperangah melihat ketinggian bangunannya. Sejenak aku mulai melupakan keluhanku akan jaringan telepon itu.
Sebelumnya aku sempat mencari tahu seperti apa panorama kota Koln. Saat searching, lagi-lagi yang muncul adalah berupa katedral dan jembatan, aku mengira bangunan unik itu ialah ikonnya kota Koln. Akupun tertarik melihat arsitektur bangunannya. Di internet juga aku melihat bangunan kuno itu bernama Kƶln Dom, yaitu sebuah katedral yang dibangun pada abad ke-13 Masehi. Koln Dom saat ini juga menjadi salah satu situs warisan budaya dunia UNESCO di Eropa sehingga menjadikannya daya tarik bagi banyak turis yang berkunjung ke kota ini.
No comments
Post a Comment