BREAKING NEWS
latest

Advertisement

PERNAHKAH Anda Mendengar Perpustakaan Escorial? Mengapa Perpustakaan Itu Dipenuhi Manuskrip Arab?

Setelah kekuatan muslim dipatahkan oleh reconquista Spanyol, peradaban bangsanya juga ikut

dihancurkan. Setiap hari, hampir satu juta buku dibakar di lapangan Granada.

Pada 1556-1598 M, kurang dari dua ribu volume kertas yang dapat diselamatkan dan dikumpulkan oleh Raja Philip II dan para penerusnya dari perpustakaan Arab. Hasil pemungutan sisa-sisa itu menjadi bahan pokok untuk membangun perpustakaan Escorial (sampai saat ini masih berdiri kokoh tidak jauh dari kota Madrid).

Pada paruh awal abad ke-17 sultan Maroko, Syarif Zaidan melarikan diri dari ibukota, mengirimi koleksi perpustakaannya dengan kapal menuju Marseille, namun di tengah perjalanan ia dibajak dan kapalnya jatuh ke para perompak Spanyol, mereka mendapatkan barang rampasan berupa buku dan alat-alat tulis berjumlah sekitar tiga atau empat ribu volume yang kemudian disimpan oleh pelayan Raja Philip III di Escorial. Berkat koleksi itulah menjadikannya salah satu perpustakaan terkaya dengan manuskrip-manuskrip Arab.

Salah satu koleksi perpustakaan tersebut telah menyebutkan dan memperkenalkan sejumlah murid Ibnu Rusyd yang kemudian banyak dinukil oleh Ernest Renan (pakar bahasa-bahasa Semitic, sejarawan dan filsuf Perancis).

Diantara muridnya yang paling berpengaruh ialah Ibnu Tumlus, biografi dan interpretasi mengenai Ibn Tumlus telah ditulis oleh Dr. Fouad ben Ahmed (pakar filsuf Maroko, dosen filsafat di pasca sarjana Dar El Hadith El Hassania, Rabat) berjudul "ابن طملوس الفيلسوف والطبيب" terbitan penerbit Dar el-Aman Rabat-Maroko, Kalima Publishing Tunis, Editions El-Ikhtilef Al-jazair, dan Editions Difaf Beirut tahun 2017.

MENGAPA Sultan Muhammad Abu Abdullah XII (Sultan Terakhir Granada) Menangis di Spanyol?


Siapa yang tidak menangis darah, jika tidak mampu mempertahankan istana yang telah dikuasai
selama lebih kurang 800 tahun di tanah Eropa. Penaklukkan dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki, nyawa bukan lagi hal yang ditakutkan hilangnya, darah bagai keringat yang bercucuran, anak istri dan seluruh sanak keluarga ditinggalkan demi menegakkan panji-panji ilahi. Semata-mata hanya kepada Allah menjadi simbol kekuatan hingga membuat mereka tak gentar menembus perisai musuh.

Banyak sejarawan orientalis, terutama yang tidak terima akan penaklukkan Islam di Eropa menyatakan bahwa bangsa Moor telah menjajah mereka. Tapi apakah sebenarnya arti penjajahan? Menjajah berarti mengeksploitasi sumber daya alam maupun manusia, sementara umat muslim menaklukkan Andalusia demi meningkatkan dan memajukan peradaban bangsanya, terbukti pada abad 10 sampai 13 Masehi adalah puncak kejayaan bumi Andalusia. Banyak ilmuwan, filsuf dan ulama muncul bahkan kegemilangan mereka bisa menandingi Baghdad sebagai pusat keilmuwan termaju di Timur ketika itu. Jelas keliru yang menyebutnya sebagai bentuk dari penjajahan.

Namun yang sangat disayangkan, seiring berjalannya waktu para sultan dan penguasa muslim semakin lupa dengan niat ikhlas leluhur mereka. Nafsu lebih dikedepankan, agama bukan lagi tujuan semata. Dinasti Nashriyah (Dinasti terakhir di Andalusia berkuasa mulai 1232-1492 M, atau disebut Nasrid dan Bani Ahmar) sering bergonta-ganti sultan, hingga kecerobohan dilakukan oleh Ali Abu al-Hassan dengan menolak membayar upeti yang sudah lazim juga menyerang wilayah Castile (ketika itu dikuasai oleh Raja Ferdinand) bagai membangunkan singa-singa Spanyol. Sejak kejadian tersebut, Raja Ferdinand dan istrinya, Ratu Isabel mulai bergerak dan merencanakan pengambilalihan kekuasaan kota Granada.

Ali Abu al-Hassan diketahui memiliki gundik kristen yang lebih disayang daripada istrinya, 'Aicha el-Hurrah (dalam beberapa riwayat disebutkan bernama Fatimah, bukan Aicha). Karena cemburu, 'Aicha mempengaruhi anaknya, Sultan Muhammad Abu Abdullah XII agar mengadakan pemberontakan terhadap sang ayah demi mendapatkan kekuasaan. Pemberontakan pun terjadi hingga akhirnya sang ayah menjadikan ia sebagai penggantinya menguasai Granada. Namun sebagai pemuda berumur 25 tahun dan belum berpengalaman dalam memimpin, ia bertindak ceroboh pula dengan mencoba menaklukkan kota Lucena, hingga akhirnya kalah dan ditawan oleh penguasa kristen.

Ali Abu al-Hassan sesaat menggantikan sang anak, lalu menyerahkan kekuasaan kepada saudara kandungnya bernama Muhammad al-Zaghall.

Sementara itu, raja Ferdinand melihat peluang besar dengan menawan Abu Abdullah, sang raja menjanjikannya kekuasaan atas kota Granada jika ia berhasil mengalahkan dan merebut kota tersebut dari sang paman, Sultan Muhammad al-Zaghall. Akhirnya Abu Abdullah menerima tawaran tersebut tanpa menyadari niat licik dari sang raja. Terjadilah pertempuran dua sultan bersaudara di tanah Andalusia dan dimenangkan oleh Abu Abdullah.

Tidak lama setelah menduduki kembali istana Alhambra, Raja Ferdinand memintanya agar menyerahkan kota tersebut. Barulah Abu Abdullah sadar akan maksud dan tujuan sang raja hingga membuatnya menyesal sampai akhir hayat. Tak bisa dihindari, sebulan setelah permintaan sang raja, kota Granada pun dikepung oleh 10.000 tentara berkuda. Sultan Muhammad Abu Abdullah menolak untuk berperang karena permintaan istri dan demi anaknya agar tetap bertahan hidup.

Pada Desember 1491 Masehi, Sultan Abu Abdullah menyerahkan kunci istana Alhambra, Raja Ferdinand dan Ratu Isabel pun menyetujui beberapa syarat yang diajukan oleh sultan diantaranya memberikan kebebasan masyarakat muslim menganut agamanya.

Pada 2 Januari 1492, orang-orang Castile mulai memasuki Granada, mereka menggantikaan bulan sabit di menara-menara kota itu menjadi salib. Lenyaplah sudah seluruh kekuasaan Islam di bumi Eropa.

Dari rentetan sejarah ini, dapat disimpulkan bahwa tangisan Sultan Muhammad Abu Abdullah XII ketika terakhir menoleh ke istana Alhambra di sebuah dataran tinggi berbatu (dikenal dengan nama El Último Suspiro de Moro berarti desahan terakhir sang Moor), bukanlah semata-mata karena penyesalan atas dirinya yang telah menusuk saudaranya, Al-Ghazall dari belakang, melainkan ia juga harus menelan pahitnya takdir dengan mewarisi kekuasaan yang telah kacau balau dari para pendahulunya.

Tampak saat paruh kedua abad 13, Spanyol mulai menggencarkan upaya reconquista, kristenisasi dan penggabungan kembali Spanyol. Hingga pada penghujung abad 13 banyak kaum muslim yang telah tunduk kepada kristen (mereka disebut mudéjar) dan diwajibkan membayar upeti kepada raja-raja kristen. Kaum mudéjar itu banyak yang melupakan bahasa Arab dan malah mengadopsi dialek Romawi hingga lama kelamaan berasimilasi dengan orang kristen. Itu terjadi karena perpecahan yang terjadi akibat konflik internal dan eksternal dari Dinasti Umayyah menjadi dinasti-dinasti kecil yang berdiri sendiri dengan kekuatan kecil sehingga dengan mudah raja-raja kristen menundukkan kembali wilayahnya.