BREAKING NEWS
latest

Advertisement

El Pacto de Teodomiro (Dokumen Diplomatik Tertulis Pertama Sepanjang Sejarah Peradaban Spanyol-Islam, Sebab Munculnya Muwallad dan Mozarabs)


Penaklukkan yang dilakukan oleh umat muslim Arab dan Berber Maroko terhadap wilayah Semenanjung Iberia telah memukul mundur raja dan banyak bangsawan visigothik lokal, diantara mereka berhasil dibunuh sementara sebagian yang lain masih tetap mempertahankan kekuasaannya di beberapa kota kecil, namun akhirnya satu persatu kota itu dapat ditaklukkan. Meski begitu, mereka (orang Arab) sama sekali tidak terpikirkan untuk melakukan islamisasi terhadap warga lokal yang menganut agama Yahudi dan Kristen, sebab kedua agama tersebut menurut pandangan Islam termasuk golongan “ahli kitab”[1]. Oleh karena itu, mereka diberi kebebasan untuk beribadah dan mempraktikkan ajaran-ajaran agamanya, dan sejak itu pula simbol pluralisme agama berawal dalam peradaban Andalusia.
Salah satu pencapaian toleransi umat Islam ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya surat kesepakatan damai seperti yang ditulis oleh Abd al-Aziz bin Musa bin Nushair kepada raja Theodemir (Tudmir)[2] tahun 713 M (94 H). Naskah tersebut dianggap sebagai dokumen diplomatik tertulis pertama sepanjang sejarah Spanyol-Islam yang kemudian dikenal dengan “Perjanjian Orihuela” atau “Perjanjian Theodemir”.
Terjemahan isi surat tersebut berbunyi:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Naskah ini ditulis oleh Abd al-Aziz bin Musa kepada Theodemir bin ‘Abdus, yang mewujudkan kesepakatan damai dan janji, serta atas perlindungan Allah SWT dan Rasul-Nya SAW. (semoga Allah merahmatinya dan memberikan keselamatan kepadanya). Kami (Abdul Aziz) tidak akan menetapkan syarat khusus apa pun untuknya atau siapapun di antara pasukannya, tidak juga berbuat kasar atau melengserkannya dari kekuasaan. Para pengikutnya tidak akan dibunuh atau ditawan, tidak juga dipisahkan dari istri dan anak-anaknya. Mereka tidak akan dihukum karena alasan agama, dan gereja mereka tidak akan dibakar, sepanjang Theodemir tetap loyal dan menghormati ketentuan yang kami berikan kepadanya;
Dia menyerah atas nama tujuh kota, yaitu: Orihuela, Valentilla, Alicante, Mula, Bigastro, Ello dan Lorca. Dan ia tidak akan menyediakan tempat perlindungan bagi para buronan, juga tidak kepada musuh kami, juga tidak mendorong orang yang dilindungi untuk takut kepada kami, juga tidak menyembunyikan kabar tentang musuh kami. Dia dan setiap anak buahnya wajib membayar satu dinar setiap tahun, bersama dengan empat mud gandum, empat mud[3] jelai, empat qisth[4] cuka, dua qisth madu dan dua qisth minyak. Sedangkan budak membayar separuh dari harga di atas.
Turut menjadi saksi atas naskah tersebut: Utsman bin ‘Ubaidah al-Qurasyi, Habib bin Abi ‘Abdah al-Qurasyi[5], Abu ‘Ashim al-Hudzaly, dan Abdullah bin Maysarah at-Tamimy.
Ditulis pada bulan Rajab, 94 H.”[6]

Jelas, daripada menjalankan operasi militer dengan biaya operasi yang tinggi, pasukan muslim lebih suka membuat kesepakatan yang akan menjamin keselamatan mereka dari permusuhan. Representasi diplomatik seperti ini memunculkan kepiawaian sang Gubernur dan para pejuang muslim dalam melicinkan kemenangan Islam atas kaum kafir Spanyol kala itu, dan sebenarnya telah lebih dulu dipraktikkan oleh para sahabat bahkan Rasulullah SAW pada masanya.
Sebagai imbalan dari upeti yang diberikan tiap tahun (berupa dinar, gandum, jelai, cuka, madu dan minyak), masyarakat setempat diberi otonom yang hampir lengkap, dimana Theodemir diharapkan dapat melanjutkan mengatur tujuh kota dan wilayah sekitar, tidak ada kecenderungan untuk mendirikan masjid ataupun garnisun muslim di sana.
Setelah beberapa tahun Islam membumi di Andalus, seluruh umat Yahudi dan Kristen Spanyol diizinkan memilih untuk masuk Islam ataukah tetap teguh dalam keyakinan aslinya. Adapun pilihan pertama dapat mengubah posisi dan kedudukan mereka dalam memenuhi hak dan kewajiban sebagaimana layaknya warga muslim yang lain, sedangkan pilihan kedua tetap dalam keadaan semula yang menyandang status kafir zimi, tunduk kepada pemerintahan Islam dengan kewajiban membayar upeti setiap tahun.
Tanpa ragu, banyak di kalangan mereka akhirnya menjadi mualaf, khususnya orang-orang yang berontak dan merasa tidak nyaman dengan sistem pemerintahan Visigoth sebelumnya. Walhasil, mereka berbondong-bondong mengucap kalimat syahadat. Namun di sisi lain, banyak yang tidak terpikat dengan tawaran murtad tersebut karena pertimbangan bahwa zakat yang dikeluarkan oleh setiap muslim tidak lebih sedikit dari pajak yang dibebankan kepada mereka dalam status zimi. Bagaimanapun, pemerintah Islam ketika itu tidak memaksa mereka untuk meninggalkan ajarannya, hanya saja mereka memilih dengan suka rela atas pertimbangan masing-masing individu, dan hal itu tidak menimbulkan masalah internal apa pun selama abad ke-8 Masehi, melainkan Islam semakin bertambah kuat dengan bertambahnya personel dalam tubuh Andalus.[7]
Mulai saat itu dan seterusnya, orang-orang pribumi mualaf tersebut lah yang memainkan peran penting dalam peradaban Islam Andalusia, khususnya yang tinggal di wilayah Selatan dan Timur Semenanjung Iberia. Anak cucu mereka (keturunan Arab, Berber dan mualaf Spanyol) sama sekali tidak meninggalkan tanah Andalus hingga berabad-abad lamanya, sampai datang masa reconquista.
Perpindahan agama yang terjadi di Andalus dari generasi ke generasi semakin meningkat, ditambah lagi dengan faktor pengekangan yang dilakukan oleh beberapa Sultan Granada dan munculnya sikap fanatisme oleh sesame golongan minoritas Mozarabs (musta’rib)[8] menimbulkan kegundahan hati sehingga sebagian mereka memilih untuk meninggalkan agamanya dan masuk Islam. Dalam catatan sejarah, orang-orang mualaf Spanyol tersebut pada mulanya dijuluki “Musalimah”, namun anak cucu keturunan mereka kemudian dijuluki “Muwallad” atau “Muladi”. Pernikahan antar ras pun sudah tidak terbilang, tak heran bahwa dalam abad ke-9 Masehi sulit dibedakan antara ras asli Arab atau Berber dengan ras pribumi Spanyol.
Selanjutnya, orang-orang muwallad yang berdiam lama di tanah Andalus baik diantaranya rakyat sipil, budak maupun anak-anak adopsi telah terbiasa dalam menjalani kehidupan baru dan seiring berjalannya waktu mereka lupa akan gelar atau nasab yang disematkan oleh leluhur mereka bahkan lupa bahwa pendahulu mereka lah yang menduduki Spanyol sebelum masuknya Islam, sebagaimana mayoritas mereka telah berevolusi menjadi kaum borjuis kaya raya sebagai hasil dari kerja keras dalam bidang perniagaan maupun pertanian.
Sedangkan, sebagian keturunan Arab masih menjunjung tinggi dan terus larut dalam aliran perasaan membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan dan berlomba-lomba menampakkan asal usulnya. Begitu juga diantara keturunan pribumi ada yang tetap mengagungkan nama Latin-Romawi mereka agar tampak berbeda dari yang lain, seperti Banu Angelino, Banu Sabarico dari kota Seville, Banu I’Longo, dan Banu Qabturno, dan sebagainya. Ibn al-Qutiyya[9]sendiri pada abad ke-10 Masehi begitu membanggakan dirinya yang memiliki silsilah keturunan sampai ke Wittiza, salah seorang raja dari Kerajaan Visigoth (694-710 M) dan tercermin dari lakabnya “القوطي” atau “Visigothik”.[10]
Kendati demikian, tidak akan lenyap kepribadian rakyat Andalus sebab percampuran ras dan budaya yang terjadi dalam kurun waktu yang terbilang singkat, bahkan hal ini menjadi nilai lebih karena dampak yang ditimbulkan dari percampuran tersebut memunculkan benih-benih identitas dan wajah kebudayaan baru di tanah Andalus dan dunia Islam, baik dari segi ekonomi, politik, budaya dan peradaban.
Adapun bahasa yang digunakan oleh golongan Muwallad maupun Mozarabs bukanlah Bahasa Arab klasik, sebabsebagian penduduknya masih terpengaruh oleh logat Romawi yang berakar dari Bahasa Latin, logat yang diucapkan bercampur kosakata Arab inilah yang kemudian dikenal dengan Bahasa Mozarabic, dan telah digunakan sejak abad ke-8 hingga 15 Masehi di tanah Andalus sebelum munculnya skrip dan Bahasa Aljamiado pasca reconquista. Sementara di beberapa wilayah pedesaan dan dataran tinggi Andalus yang dikuasai oleh sebagian besar penduduk keturunan Berber asal Afrika Utara mereka tetap berkomunikasi menggunakan Bahasa Berber.




[1] Ahli kitab merupakan orang-orang yang berpegang pada ajaran kitab suci selain Al-Quran, atau disebut juga agama Abrahamik. Lihat: Al Faruqi, Ismail Raji’ (ed.). Trialogue of the Abrahamic Faiths, Makalah dipresentasikan ke kelompok Studi Islam Akademi Agama Amerika. (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1986), h. 3.
[2] Ialah seorang bangsawan Visigothic yang muncul selama dekade terakhir atau beberapa tahun setelah penaklukkan Moor dan dikalahkannya raja Roderick pada pertempuran Guadalete tahun 711. Ia memerintah 7 kota di Tenggara Spanyol: Orihuela, Valentilla, Alicante, Mula, Bigastro, Ello dan Lorca, hingga akhirnya dikalahkan dalam pertempuran sengit melawan Abd al-Aziz bin Musa.
[3] Satu mud menurut mayoritas ulama setara 510 gram.
[4] Makna dasar dari adalah bagian atau jatah. Ketentuannya adalah 1 qisth menurut mayoritas ulama sama dengan 1,02 kilogram. Lihat: Ibn al-Atsir. An-Nihayah fi Gharibi al-Atsar, di-tahqiq oleh Mahmud ath-Thanahi dan Thahir az-Zawi, (Al-Halabi, 1963), juz 4, h. 60.
[5] Ialah Habib bin Abi ‘Abdah bin Uqbah bin Nafi’, wazir dan asisten Sultan Abd al-Aziz bin Musa bin Nushair. Lihat: Ibn ‘Idzari. Al-Bayan al-Mughrib, di-tahqiq oleh Basyar ‘Awwad Ma’ruf, (Dar al-Gharb al-Islami, 2013), juz 2, h. 30.
[6] Teks dalam Bahasa Arab, lihat: Al-Himyari, Muhammad bin Abd al-Mun’im. ar-Raudh al-Mi’thar fii khabar al-Aqthar, di-tahqiq oleh Ihsan ‘Abbas, (1975), h. 131-132. Dalam Bahasa Spanyol, lihat: Simonet, F. Javier. Historia De Los Mozàrabes De Espana, (Madrid, 1897), h. 
[7] Provençal, E. Lévi. L’Espagne Musulmane au Xe Siècle, ed. 1, (Paris, 2002), hal. 18-19.
[8] Mozarabs (Bahasa Spanyol: mozárabes; Bahasa Arab: مستعرب) adalah historis modern yang mengacu pada orang Kristen Iberia atau kafir zimi yang hidup di bawah pemerintahan Moor di Andalus, mereka tetap pada keyakinan aslinya dan tidak berpindah ke agama Islam. Istilah Mozarab ini kemudian berganti dengan julukan Al-Mu’ahidun, namun pada akhirnya kata tersebut mengerucut dan terkhusus untuk orang-orang Kristen saja, sementara umat Yahudi dipanggil dengan istilah ahli zimi atau kafir zimi. Lihat: Ibn al-Khatib, Lisan ad-Din. al-Ihathah fii Akhbari Gharnathah, dikomentari oleh Bouziani Derradji, juz 1, (Al Jazair: Dar el-Amal, 2009), hal. 198-199. L’Espagne Musulmane au Xe Siècle, ed. 1, (Paris, 2002), hal. 18-19.
[9] Ialah salah seorang sejarawan muslim Andalusia asal Cordoba (w. 977 M), pemilik kitab Tarikh Iftitah al-Andalus.
[10] Provençal, E. Lévi. Historya de España; terj. Ali Abderrauf al-Bamba, Tarikh Isbaniyya al-Islamiyah, ed. 3, (Madrid, 1967), hal. 80.

Andalus, Surga Yang Dijanjikan, Bukan Permata Yang Hilang

Andalus, Surga Yang Dijanjikan, Bukan Permata Yang Hilang
(Berdasarkan kisah perjalanan intuitif Dr. Husayn Mu'nis)

Berdiri di tengah-tengah halaman luas yang dikelilingi sebagian besar jalan, aku dengarkan keheningan mengerikan yang mencakup segala kehidupan, dari belakang terdengar bisikan roh ribuan pendahulu bergentayangan di tempat ini mengajakku mengobrol. Walau aku mengepalkan sebongkah tanah karena ketakutan namun aku mendengar suara Abu al-'Alaa al-Makmun memanggilku, sedikit meredakan rasa takut. Aku lihat banyak manusia yang berjalan setengah lari, mereka berangkat dari Cordoba menuju tanah jihad yang dipimpin oleh Abu al-'Alaa. Musuh berlari di tengah ketenangan karena takut dengan pasukan muslim, masih berkeliaran roh-roh mereka di tanah syuhada.

Saat aku berdiri di pekarangan masjid Jami' Cordoba bakda fajar, aku membayangkan jamaah telah usai melaksanakan ritual subuh, lalu para pelajar segera mengambil tempat masing-masing dan membentuk halaqah sembari menunggu guru-guru mereka datang mengajar.

Lalu di aula bawah (ruang tamu) khusus istana Alhambra, aku merenungi sekitarku, saat pintu akan dibuka lalu sang Sultan, Abu al-Hajjaj Yusuf al-Ahmar datang menyambutku, berbaris di belakangnya para pengawal kerajaan, mereka akan mengadakan majlis musyawarah atau sarasehan para penyair.

Di Cordoba, tatkala aku berhenti di jalan Ibnu Rusyd, terbayang olehku banyak orang berlalu lalang, lalu kepada mereka kutanyakan alamat rumahnya, salah seorang mereka kemudian menunjukkanku rumah Abu al-Walid itu.

Lalu di Loja, sebuah desa kecil yang berada antara kota Granada dan Malaga, ialah kampung halaman penyair dan sejarawan terkenal Lisan ad-Diin Ibn al-Khatiib, suatu pagi aku berdiri di depan rumah yang memiliki bak air mancur dengan air mengalir diiringi musik Andalus, di sampingnya tertancap sebuah pancang bertuliskan nama Arab sempurna. Aku membayangkan Ibn al-Khatiib berada di sana menyenderkan punggungnya sambil menulis sebuah karya baru.

Dan di Jaén, tidak jauh dari Cordoba, terbayang olehku sosok Jamaluddin Ibn Malik, penulis kitab "Alfiyah", banyak hal yang tak bisa kuungkapkan mengenai sosok itu.

Di sebuah lapangan kecil depan kampus kota Salamanca, aku duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu, aku merenungi patung Miguel de Unamuno, seorang filsuf Spanyol, betapa aku kagumnya, andai saja ia memeluk Islam, pasti ia saat ini duduk di sebelahku mencari beberapa bagian hadits.

Dan di Badajoz, aku melihat amfiteater romawi yang besar sekali, seakan-akan aku merasa sedang dalam pertandingan super meriah, dimana para aktor sedang beristirahat usai sesi pertama drama dari serangkaian produksi drama Sophocles, tidak lama mereka akan tampil lagi melanjutkan sesi kedua.

Intuisi seperti ini membuatku menganggap budaya Andalus seolah selalu hidup, perasaanku dibuat terkagum-kagum olehnya, seperti saat kamu sedang mengarungi setengah pulau ratusan mil jauhnya, tiada kamu temukan seorang bahkan seekor burung kutilang pun, lalu di tengah kehidupan liar kelam itu kamu merasakan bahwa nuansa sekitarmu ternyata penuh dengan semangat dan kehidupan.

Andalus, negeri yang selalu hidup dalam kenangan, ialah surga yang dijanjikan, bukan permata yang hilang.

MENGENAL Istilah Islam Andalus


 Sebagaimana yang tercatat dalam riwayat sejarah, lebih kurang 8 abad lamanya Islam pernah membentangkan sayap kekuasaan hingga semenanjung Iberia, yaitu mulai 711 M hingga 1492 M. Panji Islam berkibar di bumi Eropa, bahkan negara Spanyol yang kita kenal sekarang pernah melantunkan azan lima kali sehari di setiap masjid sudut kotanya. Peradaban yang maju dan berkembang awalnya disebabkan penaklukkan oleh umat Islam yang terdiri dari bangsa Arab dan Berber Afrika Utara. Tidak hanya itu, masa pendudukan kedua bangsa tersebut dalam waktu yang sangat lama di semenanjung Iberia memberi dampak perubahan istilah negara yang dimunculkan, yaitu Andalus.

Asal-usul Kata “Andalus” Dalam Riwayat Sejarah
Ada beberapa istilah yang disebutkan oleh sejarawan terdahulu untuk menyebut wilayah Spanyol atau semenanjung Iberia. Sejarawan Kristen menamakannya “Hispania” atau “Spania”, yang dimaksud adalah wilayah sebagian semenanjung Iberia baik yang tunduk kepada pemerintahan umat Islam Moor ataupun yang sudah terlepas dan direbut kembali oleh Kristen.
Sedangkan sejarawan Arab menyebut wilayah semenanjung Iberia yang tunduk kepada pemerintahan Islam dengan nama “بلاد الأندلس atau “Negeri Andalus”. Dengan begitu, jelas ketika berlangsung masa reconquista (perebutan kembali) oleh Kristen Spanyol, satu per satu wilayah Andalus telah berhasil direbut hingga menyisakan satu dinasti kecil di kota Granada pada akhir abad ke-15 M, maka hanya kota itu saja yang disebut dengan istilah Andalus.
Sebaliknya, sangat jarang sejarawan dan ahli geografi muslim menamakannya dengan istilah “Hispania”, kalaupun ada, maka yang dimaksudkan adalah hanya beberapa wilayah berikut: Portugal, Castilla, Navarre, dan Aragon.
Bagaimanapun, penggunaan istilah Andalus telah terjadi sejak awal penaklukkan yang dilakukan oleh bangsa Arab, yaitu saat mereka menemukan kepingan logam dinar pada 716 M, logam itu dipahat dua sisi, ialah sisi depan ditulis dengan Bahasa Latin yang bermakna “Dicetak di Hispania”, dan dalam makna yang sama di sisi belakang logam tersebut ditulis dengan Bahasa Arab “ضرب في الأندلس”.
Selain itu, penggunaan lafaz Andalusia tidak hanya mengacu pada wilayah yang dikuasai oleh umat Islam pada masa silam, melainkan dipakai juga hingga sekarang dengan sebutan “Andalucia”, yaitu sebutan untuk wilayah Selatan Spanyol: Granada, Malaga, Cordoba, Sevilla, Almeria, Jaén, Huelva dan Càdiz.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebutan lafaz Andalus sebagaimana yang sering disebutkan oleh bangsa Arab dari berbagai kalangan adalah wilayah semenanjung Iberia dibawah kendali Islam, dan orang Andalus ialah umat muslim yang hidup dan tinggal di daerah manapun di Sanyol, baik di Barat, Extremadura, Aragon bawah, maupun Levante.





Referensi:
  1. R. Menéndez Pidal: España del Cid, (Madrid: Espasa-Calpe S.A., 1967), hal. 72-3.
  2. E. Lévi Provençal: Historya de España; terj. Ali Abderrauf al-Bamba, Tarikh Isbaniyya al-Islamiyah, ed. 3, (Madrid, 1967), hal. 78.
  3. I. de Las Cagigas: Al-Andalus (unos datos y una pregunta), jilid IV, (1936), hal. 205.