Kegiatan Inkuisitorial Di Castilla-La Mancha dan Jejak Minoritas Moriscos Yang Berasimilasi, Diusir dan Berintegrasi Kembali (Abad 15-18 Masehi)
Azhari Mulyana
-
June 09, 2020
Edit this post
Sejak periode terakhir kependudukan bangsa Moor di Andalus hingga abad modern, sejarawan mengaku kesulitan mengidentifikasi keberadaan Moriscos Muslim di Spanyol, asimilasi penduduk hingga integrasi dari tahun ke tahun terbukti melemahkan kegiatan penyelidikan yang dilakukan komite Inkuisisi, disamping itu, sejarawan menganggap peleburan tersebut sebagai bukti keberhasilan Moriscos menyembunyikan identitas mereka. Konversi agama dan pembabtisan oleh uskup agung mulai 1502 sampai puncak pengusiran oleh raja Philip III pada 1609 M tidak menyurutkan usaha Moor muslim melakukan pembelaan jati diri meski harus berpura-pura memeluk Kristen Katolik. Dapat dikatakan, bahwa misi dan prosedur Inkuisisi tidak sepenuhnya tercapai, dalam arti bahwa proses misionaris yang dilakukan tidak berhasil menundukkan semua Muslim Andalus.
Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Trevor Dadson[1] menghasilkan penemuan yang cukup mengejutkan, bahwa terdapat populasi mudéjar[2] yang relatif besar dalam lima kota di pedesaan Calatrava, Castilla-La Mancha. Ia menganalisis hubungan mereka dengan inkuisusi sepanjang abad ke-16 Masehi, dan menekankan bahwa sebagian besar mereka berasimilasi dengan penduduk Kristen Andalus lama. Kelima kota tersebut adalah: Aldea del Rey, Almagro, Bolaños, Daimiel dan Villarrubia de los Ojos. Kota Villarrubia diketahui telah menampung mayoritas pelarian Moriscos, hampir secara konsisten kota tersebut tidak dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan, beberapa bukti akan dipaparkan menunjukkan bagaimana mereka mengelola prestasi yang sulit ini.
Mudéjar di wilayah ini setidaknya telah ada sejak abad ke-13 M, tiba pada waktu yang bersamaan dengan saat seluruh wilayah dihuni kembali setelah pertempuran Las Navas de Tolosa[3], dan pada dasarnya merupakan komunitas petani yang patuh, hidup berdamai dengan tetangga mereka yang Kristen. Terakhir, toleransi ini diketahui ampuh menjadi senjata yang melindungi Moriscos menduduki daerah tersebut pada abad-abad selanjutnya.
Konversi dan Pembaptisan Mudéjar, Dengan Ganjaran Privilese (Hak Istimewa)
Sudah bertahun-tahun komunitas Mudéjar berbicara Bahasa Arab, namun sejak konversi paksa tahun 1502 muncul Bahasa Aljamiado[4] yang dipraktikkan secara sembunyi, dan pengetahuan mereka tentang Islam dalam beberapa kasus sangat terbatas sehingga mereka harus beralih ke teks-teks Kristen yang ditulis untuk melawan Islam. (Mercedes Garcia-Arsenal, 1987).
Di Villarrubia, para Mudéjar memiliki sebuah jamik atau masjid kecil di Calle de la Corredera[5], jantung distrik suku Moor dimana mereka bertemu sesamanya, bahkan sebelum konversi paksa tahun 1502 masjid itu dalam keadaan rusak parah, karena jarang terjadi aktivitas keagamaan. Tidak ada referensi yang menunjukkan adanya aktifitas keagamaan bangsa Moor di masjid itu, namun istilah "juntas y con-ventÃculos"[6] dalam beberapa riwayat menjadi kode referensi yang mengarah kepada praktik kongregasi. Jika mereka memang memiliki pemuka agama pada waktu itu, ia mungkin telah mengubah namanya menjadi Rodrigo Manrique selama pembaptisan paksa, dan meninggalkan desa itu antara tahun 1502 dan 1530, sehingga membuat Moriscos dari Villarrubia kehilangan kepemimpinan religius yang dapat menuntun mereka. Oleh karena itu, akhir abad ke-15 M, agama bagi banyak Mudéjar telah menjadi, bukan sistem kepercayaan, tetapi cara untuk membedakan diri dari tetangga Kristen lama mereka.
Pada 1502, populasi Muslim Kastilia diperintah untuk pindah agama atau menderita pengusiran langsung dari Spanyol. (Dekrit pengusiran dipublikasi pada 12 Februari 1502, lihat: Fernández y González, 1985). Anggapan mayoritas Mudéjar, mereka dihadapkan pada pilihan antara bepergian ke tanah yang tidak dikenal dan berbahaya atau berpindah agama dan tetap tinggal di desa mereka, Mudéjar memilih konversi, yang setidaknya dapat memberi mereka manfaat nyata. Dengan begitu, mereka akan mendapatkan hak sipil dan politik yang sama dengan tetangga Kristen Lama mereka, seperti memilih jabatan di pemerintahan lokal, membawa senjata dan bergerak tanpa menimbulkan kecurigaan.
Tetapi, Moriscos dari lima kota di Campo de Calatrava itu tidak begitu naif untuk percaya bahwa manfaat yang ditawarkan akan menjadi bumerang bagi mereka sehingga memutuskan untuk mengambil sebuah bentuk kehidupan dengan dalih hak istimewa kerajaan yang akan menjamin mereka kondisi baru sebagai anggota penuh dari gereja Kristen. Pada 20 April 1502, dihadapan Talavera (uskup agung) dan Francisco Ximénez de Cisneros (kardinal Spanyol), pemimpin komunitas Moor meminta hak istimewa mereka. Berkat privilese tersebut, di kawasan ini mereka percaya akan hidup dengan damai, bebas dari marginalisasi dan diskriminasi, bahkan menempatkan mereka di Campo de Calatrava pada posisi hukum yang setara dengan umat Kristiani lainnya, seperti bebas dari pajak dan upeti, kebebasan bergerak, dapat menikmati penghormatan, jabatan dan hal-hal lain. Tidak hanya itu, mereka juga dapat mengambil bagian dalam pemilihan lokal dan mencalonkan diri untuk jabatan walikota, polisi, anggota dewan dan lainnya tanpa ada yang membuat perbedaan atau pemisahan. Maka, untuk pertama kalinya dalam sejarah Semenanjung Iberia pasca reconquista, mereka (Moriscos dari lima kota) berada di lapangan dan status yang sama berbaur dengan Kristen lama.
Berkurangnya Pengaruh Privilese, Penyebab Muncul Masalah Politik Terhadap Moriscos
Sebagaimana diketahui, bahwa Moriscos yang menerima konversi agama dan pembaptisan akan mendapatkan hak istimewa yang diberikan oleh Raja Katolik selama-lamanya, sehingga mereka dapat hidup dengan layak dan mendapatkan hak sipil dan politik seperti penduduk Kristen lain. Namun, tetap saja mereka diminta konfirmasi ulang hak istimewa tersebut antara tahun 1514 sampai 1530, terutama ketika ada Raja atau Ratu baru yang naik tahta.
Pada musim panas tahun 1530, inkuisitor Juan Yanes dari pengadilan Toledo, tiba untuk pertama kalinya di Campo de Calatrava, dengan tujuan utama menerima kesaksian dan memeriksa bukti tertulis, khususnya catatan pembaptisan Moriscos. Penyelidikan yang dilakukan begitu ketat sehingga terkesan mengganggu komunitas Moriscos bekas Muslim. Hal tersebut memicu pemberontakan di Campo de Calatrava, contohnya Lope de Hinestrosa dari Daimiel, Alonso Almerique dari Almagro, dan Juan Gordo dari Balaños dipilih untuk mewakili komunitas Moriscos mengajukan petisi kepada inkuisitor Juan Yanes pada 28 Juli 1530. Mereka menuntutnya ke pengadilan untuk berhenti dari menganiaya, memenjarakan dan menuduh golongan Moriscos tidak bersikap baik kepada penduduk Kristen. (Jean-Pierre Dedieu, 1983).
Tampaknya, tuntutan tersebut menghasilkan efek yang diharapkan, pada akhir tahun, semuanya telah kembali normal dan Inkuisisi kehilangan minat melakukan penyelidikan terhadap Moriscos di Campo de Calatrava, sampai kunjungan baru pada awal 1538. Juan Yanes kembali menyelidiki kebiasaan orang-orang Moriscos, sebagai pengaduan dari orang-orang Kristen setempat, lalu pada Desember 1538 ia memutuskan untuk menangkap Lope de Hestroprosa. Menurut Jean-Pierre Dedieu, penangkapannya disebabkan karena ia sebagai salah satu tokoh utama di wilayah itu, dan dianggap sebagai pemimpin perlawanan yang dilakukan oleh Moriscos dari lima kota terhadap inkuisitor. Bahkan, pada bulan-bulan berikutnya, ada serangkaian penahanan atas tokoh-tokoh Moriscos, seperti Juan de Aragón, menurut pengaduan beberapa orang Kristen baru (Moriscos yang berkhianat), ia adalah seorang fakih, namun ia berhasil lari dari penangkapan itu.
Alonso el Bueno, nama yang dikenal sebagai pengkhianat dan telah bekerja untuk Inkuisisi selama bertahun-tahun sebagai mata-mata terhadap rekan-rekan Moriscos. Ia menceritakan segalanya kepada para inkuisitor. Sehingga, pada 16 Juli 1541, 26 orang Moriscos dari Daimel diarak dalam sebuah auto-da-fé[7], dan dua diantaranya dihukum mati dibakar. Penangkapan dan pengaduan berlanjut tanpa henti sampai dikeluarkannya sebuah Dekret (Edict of Grace) oleh Jenderal Inkuisitor pada tahun 1545 untuk mengakhiri penganiayaan terhadap semua Moriscos dari Kastilia.
Jadi, banyak cobaan yang dialami oleh Moriscos dari Almagro, Bolaños, Aldea del Rey dan Daimiel, namun tampaknya hal itu jarang terjadi di Villarrubia, karena mereka lebih terintegrasi ke dalam masyarakat Kristen dan sedikitnya pengaduan yang dapat memicu tindakan Inkuisisi. (Juan Blázquez Miguel, 1986)
Memang, fakta bahwa tidak ada aktivitas inkuisitorial di Campo de Calatrava yang tercatat selama tiga puluh tahun setelah penganiayaan tahun 1538-1542 mungkin merupakan tanda hubungan baik yang ada antara dua komunitas Kristen lama dan baru, meskipun bisa jadi merupakan akibat dari berkurangnya aktivitas inkuisitorial di seluruh Semenanjung setelah tahun 1540.
[1] Trevor J. Dadson adalah seorang profesor Emeritus dan sejarawan Hispanik berkebangsaan Inggris. Ia meneliti keberadaan Moriscos pasca reconquista yang ditulis dalam sebuah buku berjudul “Los moriscos de Villarrubia de los Ojos (siglos XV-XVIII): historia de una minorÃa asimilada, expulsada y reintegrada” diterbitkan tahun 2007.
[2] Istilah yang disematkan terhadap orang Moor Andalus sejak reconquista tahun 1492 sebelum akhirnya dipaksa konversi ke agama Kristen pada 1502. Mereka hidup diluar kendali pemerintah Islam, dan tunduk pada kekuatan politik Kerajaan Monarki Katolik Spanyol.
[3] Dikenal dengan istilah “Batalla Las Navas de Tolosa” adalah pertempuran yang terjadi pada 16 Juli 1212, dan dianggap sebagai awal titik balik sejarah Semenanjung Iberia, karena memukul mundur kekuatan umat Muslim, dan sebagai cikal bakal terjadinya reconquista di Spanyol. Pertempuran tersebut terjadi antara pasukan Alfonso VII dari Kastilia bergabung dengan Sancho VII dari Navarra dan Pedro II dari Aragon melawan pasukan Muslim Berber yang dipimpin Muhammad An-Nasir dari Dinasti Muwahidun.
[4] Bahasa Aljamiado, dibaca: al-khamiado (Bahasa Arab: اللغة الخميادية), adalah bahasa yang ditulis dalam manuskrip-manuskrip islam di Spanyol dengan memakai aksara Arab untuk mentranskripsikan bahasa-bahasa Eropa, khususnya bahasa Romansa, seperti: Mozarabik, Portugis, Spanyol, dan Ladino.
[5] Calle de la Corredera saat ini berada di jalan Avenida Cristo Rey, bangunan masjid tersebut kemudian menjadi Ermita de Nuestra Señora del Pilar, dan hancur pada tahun 1570.
[6] Dalam kamus Bahasa Spanyol (Diccionario de Autoridades), istilah “conventiculo” bermakna pertemuan atau kongregasi beberapa orang, yang biasanya dianggap sebagai rapat tersembunyi dan memiliki tujuan yang buruk. Jarang sekali istilah tersebut dipakai dalam konteks selain kegiatan keagamaan.
[7] Auto-da-fé merupakan istilah yang dipakai sebagai praktik ritual penebusan dosa publik yang diterapkan pada abad ke-15 sampai 19 Masehi terhadap orang-orang yang dituduh melakukan bidah dan murtad oleh Inkuisisi Spanyol dan Portugis. Bentuk hukuman fisiknya seperti dicambuk, dinyiksa dan paling ekstrem dibakar di tiang pancang.
Referensi:
-Arenal, M. Garcia. Inquisición y moriscos. Los procesos del Tribunal de Cuenca, Madrid, 1987.
-Fernández y González, Estado social y polÃtico de los mudéjares de Castilla, Madrid, 1985.
-Ingram, Kevin. The Conversos and Moriscos in Late Medieval Spain and Beyond-Volume 2: The Morisco Issue, Brill, 2012.
-Jean-Pierre Dedieu, “Les Morisques de Daimiel et l’Inquisition 1502 – 1526,” in Les Morisques et leur temps, Paris, 1983.
-Juan Blázquez Miguel, La inquisición en Castilla-La Mancha, Madrid, 1986.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Author
- Azhari Mulyana
- Rabat, Morocco
- Azhari Mulyana, pemilik nama pena La Kougnir, dilahirkan di kota Langsa, Aceh 11 Mei 1995. Ia menyelesaikan pendidikan di MTS Ulumul Quran kota Langsa tahun 2010 dan MAS di sekolah yang sama tahun 2013. Ia pernah melanjutkan studi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, jurusan Bahasa dan Sastra Arab tahun 2013. Namun, setelah genap setahun menempuh jenjang sarjana di UIN, lelaki penyuka es degan ini lulus beasiswa penuh dan melanjutkan studi di Kerajaan Maroko. Hingga saat ini ia sedang bergelut di jenjang S2 jurusan Islamic Studies di Université Qarawiyyin, Dar El Hadith El Hassania, Rabat. Selain itu, ia telah menulis sebuah novel berjudul "Dari Sabang Sampai Maroko (Sang Pujangga Cinta & Penakluk Afrika Utara-Andalusia)" yang diterbitkan pada tahun 2017.
Blog Archive
-
▼
2020
(24)
-
▼
June
(10)
- Dari Bayt al-Hikmah di Baghdad Hingga Madrasah Ter...
- Perbedaan Kebijakan Penguasa Muslim dengan Penguas...
- Gérard de Crémone, Penerjemah 80 Buku Sains Berbah...
- IBNU FIRNAS, Bapak Penerbangan dan Pencipta Teori ...
- Ekspansi Islam Ke Semenanjung Iberia (Al-Andalus)
- Ekspansi Islam ke Afrika (Ifriqiyah dan Maghrib)
- Kegiatan Inkuisitorial Di Castilla-La Mancha dan J...
- Pengaruh Dialek Andalusia Terhadap Bahasa Maroko
- “Atazir”, Selendang Kebanggaan Wanita Berber Afrik...
- Ketegangan Etnis dan Teologis di Abad Pertengahan ...
-
▼
June
(10)
Spesial Lebaran
La Fête du Mouton (Seluk Beluk Lebaran Idul Adha di Maroko)
Gema takbir membahana ke seantero jagad raya. Kalimat suci yang dilantunkan indah dan syahdu itu, begitu menyejukkan hati setiap insan ...
Hot Posts
-
Gema takbir membahana ke seantero jagad raya. Kalimat suci yang dilantunkan indah dan syahdu itu, begitu menyejukkan hati setiap insan ...
-
1. Al-Qiraat Secara Bahasa Secara bahasa al-qiraat berasal dari istilah Bahasa Arab yaitu bentuk jama’ dari Ù‚ِرَاءَØ© , yang be...
-
وأجملُ منك لم تراه Ù‚َØ·ُّ عَين وأطيبُ منك لم تَÙ„ِدِ النساءُ Ø®ُÙ„ِقتَ Ù…ُبَرَّءاً Ù…ِÙ† ÙƒُÙ„ِّ عَيبٍ كأنك قد Ø®ُÙ„ِقتَ كما تشاءُ قمرٌ .. قمرٌ ...
-
Andalus, Surga Yang Dijanjikan, Bukan Permata Yang Hilang (Berdasarkan kisah perjalanan intuitif Dr. Husayn Mu'nis) Berdiri di ...
No comments
Post a Comment