A.
Hukum Jam’u
al-Qiraat
Mempelajari ilmu qiraat merupakan fardhu kifayah bagi umat manusia,
dan menjama’kan qiraat adalah suatu hal yang dibolehkan tanpa ada
keraguan. Adapun metode atau tata cara jama’ qiraat sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu;
-
Pertama : Tidak ada perbedaan
pendapat antar umat Islam mengenai jama’ qiraat secara ifrad (membaca
Al-Quran dengan satu macam qiraat sampai khatam kemudian diulang dengan qiraat
yang berbeda). Bahkan hal ini merupakan syariat sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, ulama salaf
dari golongan sahabat, tabi’in dan setelah mereka.
-
Kedua
: Sedangkan jama’ qiraat dengan metode yang empat (Al-Jam’u
bil Kalimat, Al-Jam’u bil Waqfi, At-Tarkib bainal Jam’i bil Kalimat
wabil Waqf, atau Al-Jam’u bil
Ayat) tidak pernah dipraktekkan oleh ulama salaf, melainkan muncul pada
masa imam Abu ‘Amr ad-Dani yaitu pada abad ke-5 H, sehingga menjadi sunnah di
kalangan para ulama qiraat dengan menetapkan syarat-syarat tertentu.
Dalam hal ini muncul banyak perselisihan di kalangan para ulama
dengan berlandaskan dalil-dalil yang kuat sehingga dapat disimpulkan menjadi
tiga pendapat tentang hukum jam’u al-qiraat dengan metode yang empat,
yaitu :
1)
Sekelompok ulama berpendapat
melarang secara mutlak, baik itu ketika dalam kondisi bertalaqqi (berguru
kepada seorang syekh) dan lainnya. Mereka adalah Syekh Abu Bakar bin Muhammad
bin ‘Ali bin Khalaf al-Husaini, Syekh Muhammad Azharan, Syekh Ibnu al-Jauzi
al-Hanbali, dan lain-lain.
2)
Sekelompok ulama membolehkan secara
mutlak, baik di tempat-tempat umum dan lainnya, baik dalam kondisi berguru,
belajar dan lainnya. Mereka adalah Syekh Abdul ‘Aziz bin Abdul Fatah al-Qari,
Syekh Ibrahim al-Maraghani, dan lainnya.
3)
Pendapat jumhur (kebanyakan)
ulama membolehkan ketika dalam keadaan bertalaqqi saja, tidak pada
kondisi lainnya. Mereka adalah Ibn al-Jazari, Syekh al-Qasthalani, Ibn Taymiyyah,
dan lainnya.
B.
Hukum Tarkib
al-Qiraat
Adapun hukum mentarkibkan qiraat juga merupakan
perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Diantara mereka ada yang melarang
secara mutlak, ada yang membolehkan secara mutlak, ada yang memilih tafsil
(membahas masalah tarkib qiraat dengan rinci dan diteliti dengan benar
secara bahasa dan i’rab, jika ditemukan kesalahan makna yang terkandung
dalam sebuah ayat karena tarkib ini maka dilarang, jika tidak terjadi
kesalahan maka diperbolehkan).
Dalam kitab “An-Nasyr fil Qiraat
al-‘Asyr”, imam Ibnu al-Jazari menyebutkan bahwa menghukumi tarkib
qiraat yang lebih shahih menurut beliau adalah dengan cara tafsil. Jika
salah
satu qiraat menimpa qiraat yang lain sehingga merusak makna aslinya maka
hukumnya
haram.
Contoh
:
-
Pada ayat ﴿ فَتَلَقَّىٰ آدَمَ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٌ ﴾ imam Ibnu Katsir membaca dengan menashabkan
آدم dan merafa’kan كلمات .
Sedangkan selain imam Ibnu Katsir membaca ﴿ فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ ﴾ dengan merafa’kan آدم dan menashabkan كلمات
.
Jika kedua qiraat ini ditarkibkan
maka akan menjadi nashab kedua kalimat tersebut seperti ﴿ فَتَلَقَّىٰ آدَمَ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ ﴾ ,
atau menjadi rafa’ keduanya
seperti ﴿ فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٌ ﴾ .
Contoh tersebut menunjukkan bahwa dengan mentarkibkan qiraat
telah merusak tatanan bahasa Arab dan menghilangkan keaslian makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat Al-Quran. Oleh karena itu, setelah ditafsil maka
jelaslah bahwa contoh tarkib seperti ini haram hukumnya secara mutlak
dan bukanlah Al-Quran.
syukron
ReplyDeleteassalamualaikum, boleh saya tau rujukan? saya nk semak
ReplyDelete