Al-Ashl
Menurut Ibrahim al-Maraghi at-Tunusi dalam kitabnya An-Nujum
ath-Thawali’ ‘ala ad-Durar al-Lawami’ pengertian al-Ashl adalah hukum
kulli (kaidah-kaidah umum) yang seragam (berulang-ulang) pada setiap
tempat yang memiliki syarat diberlakukannya hukum tersebut.
Contoh al-Ashl
yaitu :
a)
Bab
al-Isti’adzah
Yaitu bab
pertama dalam pembahasan ushul ini.
al-Isti’adzah atau dikenal
dengan bacaan ta’awwuz (a’udzubillahiminas syaithanir rajim) merupakan
perkara yang disepakati oleh para ulama qiraat. Oleh karena itu, setiap qori’
diwajibkan membacanya ketika hendak memulai membaca Al-Quran. Firman Allah SWT
:
﴿
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم ﴾
(سورة النحل 98)
"Apabila kamu hendak membaca Al-Quran maka
berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang terkutu.”
b)
Bab
al-Basmalah
Ada tiga hukum
yang dibenarkan dalam membaca bismillah, yaitu:
-
Hendaklah membaca bismillah pada
setiap permulaan surat-surat Al-Quran kecuali surat at-Taubah. Inilah yang
disepakati oleh para ulama, bahkan yang membaca dengan qiraat Hamzah pun
mendahulukan bacaan bismillah.
-
Apabila seorang qori’ hendak
membaca bagian dari surat Al-Quran, misalnya di pertengahan surat Al-Baqarah,
maka ia boleh memilih antara membaca bismillah atau tidak.
-
Ada beberapa tempat (kondisi) yang tidak
dibolehkan membaca bismillah, yaitu pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
kekufuran, doa kepada orang kafir, menyingkap kemunafikan, berita tentang
neraka, setan dan lain-lain.
Contoh :
بسم
الله الرحمن الرحيم ﴿ الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ ﴾
Maka tidak
boleh membarengi nama Allah dengan setan seperti pada contoh tersebut. Begitu juga
ada tempat-tempat yang menunjukkan ta’awwuz kepada makna yang buruk, oleh
karena itu harus kita pisahkan dengan bismillah, seperti yang terdapat pada
contoh berikut :
أعوذ
بالله من الشيطان الرجيم ﴿ إِلَيْهِ يُرَدُّ عِلْمُ السَّاعَةِ ﴾
Pada contoh
ini, tidak dibenarkan membarengi antara ta’awwuz dengan bismillah karena
dikhawatirkan dhamir yang seharusnya kembali kepada Allah akan
dikembalikan kepada setan pada kalimat sebelumnya.
c)
Bab al-Fath wal Imalah wa Baina al-Lafdlain
Al-Imalah yaitu bunyi
ucapan baris fathah yang condong kepada kasrah, bacaan alif yang
condong kepada ya’. Adapun tujuan al-Imalah adalah agar
mengetahui bahwa asal alif itu adalah ya’.
Al-Imalah ini biasanya disebut imalah
kubra. Adapun riwayat Warsy membaca dengan imalah sughra atau at-taqlil
baina al-lafdlain, artinya adalah bacaan antara imalah kubra dengan fathah.
Contohnya
seperti ﴿ وَالنَّجْمِ
إِذَا هَوَى ﴾ , Imam Warsy membacanya dengan taqlil atau imalah
sughra pada (هوى)
begitu pula bacaan selanjutnya pada (غوى),
(يوحى), dst… Dan inilah yang merupakan ushul (al-Ashl) pada riwayat
Warsy, setiap tempat atau kata yang mencukupi syarat untuk dibaca taqlil
maka harus dibaca seperti itu.
Sedangkan ushul
pada qiraat Hamzah dan Al-Kissa’i adalah membacanya dengan imalah kubra,
begitu pula qiraat Ibnu Katsir dengan bacaan fathah dengan menyeragamkan
pada setiap tempat yang memenuhi syarat yang serupa.
d)
Bab Tentang Hukum Bacaan Ra’
Contoh salah
satu ushul dalam qiraat adalah ushulnya Imam Warsy yang mana hukum ra’
pada qiraat beliau tersendiri dari qiraat yang lain, yaitu apabila ra’
dhammah atau fathah mendahului kasrah maka bacaan ra’
ditarqiq (tipis) kan. Dan hukum ini seragam pada semua kata yang
menyerupai syarat kata ini, seperti: (كورت), (حشرت),
(سجرت), (نشرت).
e)
Bab Tentang Hukum Bacaan Lam
Contoh yang
terdapat dalam ushul Imam Warsy bahwa huruf lam dibaca tebal pada selain
lafaz Jalalah (lafaz Allah), seperti: (الصلاة),
lam dibaca tebal karena sebelumnya
terdapat huruf shad yang berbaris fathah. Begitu pula pada contoh
(أطَّلَعَ), (ظَلَمُوا),
(أصلحوا) dan lainnya.