BREAKING NEWS
latest

Advertisement

Slider

latest

Slider Right

randomposts3

Sekilas Tentang Maroko

Kerajaan Maroko (Bahasa Arab: al-Mamlakah al-Maghribiyah) adalah salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim di Afrika Utara dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di Samudera Atlantik setelah Perancis. Secara geografis, Maroko memiliki wilayah yang sebagian besar terdiri dari gurun dan pegunungan terjal. Negara ini berbatasan dengan Spanyol dan selat Mediterania di sebelah Utara, negara Aljazair di sebelah Timur, dan Mauritania di sebelah Selatan.

Maroko memiliki populasi lebih dari 36 juta jiwa, beribukota administrasi di Rabat, dan ibukota industri di Casablanca sekaligus kota terbesarnya. Negaranya memiliki sejarah yang berbeda dengan negara-negara tetangga, disebabkan percampuran ras dan budaya antara Arab, Eropa, dan Berber.

Dilihat dari sistem pemerintahan, Maroko menganut sistem monarki konstitusional dengan parlemen yang dipilih. Raja Maroko memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang luas, terutama dalam militer, kebijakan luar negeri dan urusan agama. Baca Selengkapnya

Latest Articles

Banu Al-Bāji Al-Ishbīlī; Scholars of the Hadith School of Seville



KATEGORI BUKU:
Ilmu Hadits

JUDUL BUKU:

بنو الباجي الإشبيلي من أعلام مدرسة الحديث في إشبيلية

Banu Al-Bāji Al-Ishbīlī; Scholars of the Hadith School of Seville


TEMA:

Periwayatan Hadith di kota Seville, Andalusia-Spanyol

GENRE:
Islamic Studies, The Science of Hadith, History

PENULIS:
Azhari Mulyana

PENERBIT:
Dar al Athar for Publishing and Distribution, Cairo, Egypt, 2023

JUMLAH HALAMAN:

144 Halaman

ISBN:

978-977-741-189-9



Abstract :

When the matter in Andalusia had stabilized, the Muslim Scholars came from the East, Egypt and Kairouan. They are the reciters, voyagers, writers, and linguists, but Muhadith is rare. Their endeavors were not clearly shown until Baqi ibn Makhlad and Muhammad ibn Waddah came. Therefore, Andalusia became a House of Hadith. Although the revival of Hadith had spread to all of the cities and villages in Andalusia, the capital city and province had the biggest contributions, and the most important contribution was Seville, which is one of the most famous Andalusian cities participating in the development of the scientific movement. Seville was the capital of the state of Bani Abbad. Many of the Seville scholars had a great interest in the Sunnah of the Prophet; their endeavors subserve the noble Prophet’s Sunnah, and it is the role of the Bani al-Bāji of Seville. Many colleagues have conducted the scientific and the continuation of their chain of transmission from the predecessor, until the collapse of Andalusia. In this research, the researcher used the historical method, which is represented in a brief introduction to the Muhadith in Seville and Bani al-Bāji, and their writings in Hadith towards various mechanisms of description and analysis to give a clear description of the scientific surroundings of this family.

Keywords: Seville, Scholars of Hadith, The School of Hadith, Bani al-Bāji.


Pendampingan Tamu VIP





"Alhamdulillah", satu kata yg terucap pertanda akhir dari segala pengorbanan. Banyak drama yang muncul sejak awal mempersiapkan kunjungan Rektor Univ. Al Qasimia Dubai, Prof. Awad Alkhalaf. Diawali dengan pertemuan melalui zoom meeting yang dipandu oleh KJRI Dubai, mempertemukan kampus UIII dengan Al Qasimia. Saat itu aku yang masih baru di kampus hanya ikut arus, adapun yang hadir diantaranya Rektor UIII, Senat Akademik UIII, Wakil Rektor bidang Kerjasama UIII, dan lainnya, termasuk diriku staf kerjasama. Sementara di pihak Qasimia hadir Prof. Awad Alkhalaf, Dr. Nuhu Zakaria, Direktur Hubungan Internasional dan bidang Kemahasiswaan. Karena pimpinan sudah lengkap aku pun off camera. Tapi ternyata, pihak Qasimia memilih untuk berbicara berbahasa Arab, diawali oleh Dr Zakaria yang meminta untuk diterjemahkan, akhirnya Rektor meminta aku untuk menjadi penerjemah pertemuan daring itu.


Jantung pun berdebar, keringat mengucur, pena mana pena? Kertas oh kertas. Ini pertemuan bilateral, aku tidak mau sampai blank ataupun gagap. Begitu pena dan kertas siap akupun menyalakan kamera menyapa semua yang hadir.

Meeting pun dimulai, aku menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Prof. Awad Alkhalaf kemudian aku sampaikan kepada pihak UIII, begitu pun sebaliknya aku simak setiap kata Inggris yg terciprat dari bibir Prof. Komaruddin Hidayat lalu aku terjemahkan dan sampaikan kepada pihak Qasimia, begitu seterusnya sampai akhir sesi. Tangan dan jariku tak pernah berhenti gerak.


Lucu, mereka saling tolak menolak untuk diundang. Rektor UIII menolak diundang ke Dubai, begitupun sebaliknya sampai akhirnya Qasimia menyerah dan mengalah.


Terjadilah pertemuan pada 14 Desember 2022 lalu di kampus UIII, pertama dalam hidupku menyambut tamu VIP yang turun dari Emirates Airlines kelas bisnis, tiba pukul 22:00 malam Rabu, baru keluar dari bandara pukul 23:00, melalui jalur parkiran VIP langsung kita sambut dan antar ke Pullman Hotel Thamrin, masih kurang percaya diri karena aku hanya membawa innova reborn untuk menjemput mereka yang bertubuh tinggi dan besar. Innova bagiku cukup besar, tapi mereka harus menundukkan kepala. Ya, hanya itu mobil yang disediakan oleh kampus, pengalaman ini akan kubuatkan laporan sehingga disetujui pengadaan Alphard nantinya khusus menjemput tamu undangan Rektor.


Rabu dini hari pukul 00:30 mereka pun berhasil check in dan istirahat di hotel bintang lima itu. Kami bertiga kemudian menuju OYO hotel yang sudah aku booking sore tadi, ternyata OYO ada batas waktu kunjung, tengah malam sudah nihil mendapatkan hotel lain, ah, sial sekali nge-bolang pusat kota jakarta di malam yang larut, akhirnya kami mencurahkan penat dengan makan nasi goreng di emperan, di lokasi yang berantah.


Sambil menyantap nasi goreng, perut berbunyi krucuk-krucuk, angin sepoi-sepoi malam membuat perutku kembung. Dengan bantuan salawat akhirnya aku bisa kembali booking sebuah hotel bintang dua di kawasan Tanjung Duren.


Sampai kamar hotel, aku baru sadar harus menjadi MC acara penandatanganan MoU dengan Qasimia besok pagi. Segera aku buka laptop dan membuat script MC bahasa Arab sampai jam 3 dini hari, dan... terlelap.


Dua jam kemudian alarm hp mengguncang tubuhku. Mata merah, badan kaku, sedang pikiranku hanga mengingat "Qasimia". Segera memaksa tubuh kaku ini bangkit, sholat dan mandi. Jam 7 pagi kami menuju Pullman untuk menjemput Prof. Awad dan Dr. Zakaria menuju Depok, ya menuju kampus UIII.


Kantung mata setengah tebal dan gelap, acara demi acara akhirnya selesai. Semua berjalan sesuai rencana yang telah jauh-jauh hari kami persiapkan. Tiga hari tiga malam kami mendampingi Prof Awad, pada akhirnya mereka sangat berterimakasih kepada UIII yang telah menyambut hangat kedatangan mereka, bagaimanapun kenyamanan mereka hingga kesuksesan akan keberlangsungan acara penandatanganan MoU merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Terlepas dari perjuangan dibalik itu, banyak yang support, utamanya Senat Akademik di hari-hari akhir meminjamkan mobil dinas pribadinya untuk mengantar Prof Awad ke bandara, karena terbentur dengan peraturan ganjil genap mobil di Jakarta.


Satu kata untuk menutup cerita ini, "Alhamdulillah".

KRL Mind Blowing

Manusia berlalu-lalang mengejar kesibukannya. Hampir tiap detik jejak sepatu dan sandal memenuhi ubin stasiun KRL Pondok Cina, tidak pernah sepi.
Pagi itu, Hafaz pertama kali menginjakkan kaki kota Depok. Ia memberanikan diri mengambil rute metro lintas jabodetabek itu menuju ke kontrakan kak Lisa di Cilandak.


"Mbak, aku mau beli tiket KRL, boleh tahu apa saja opsinya?" 


"Harga kartunya 30.000 mas, sudah termasuk saldo 10.000." tegas mbak petugas loket pembelian tiket KRL.


"Loh, tidak ada kah tiket untuk sekali naik atau satu hari saja?"


Hafaz bingung, dalam benakknya masih membandingkan KRL dengan metro di kota Paris atau Amsterdam. Memang, di Paris tiket metro bisa dibeli sesuai durasi per jam ataupun per 24 jam.


"Tidak ada mas, sudah habis. Tersisa kartu member saja yang bisa diisi ulang."


Tanpa berpikir panjang Hafaz lalu mengambil dua lembar kertas sejumlah 30.000 dan memberikannya kepada petugas loket. Toh, ia berpikir akan menetap lama di sana dan bukan sebagai turis. Namun sesekali ia masih bertanya-tanya bagaimana kalau memang turis mencoba eksplor Jakarta menggunakan KRL, tidakkah ia rugi jika kartunya nanti terpaksa dibuang dan tak terpakai lagi saat kembali ke negara asalnya?


Cukup sampai di situ, Hafaz lalu berjalan dan check in kartu KRL, ia masih mencari-cari petunjuk arah karena ada dua jalur kereta yang melewati stasiun itu: kereta tujuan Bogor, dan tujuan Jakarta Kota.


Setelah menemukan sign board itu, ia berharap-harap agar tidak keliru. Tiga menit kemudian terdengar bunyi nada melodi yang menandakan sebuah kereta akan melintas. Hafaz melihat ke kanan dan kiri, ternyata yang akan datang ialah kereta tujuan Jakarta Utara, tepat seperti yang dikehendakinya.


Setelah kereta berhenti sempurna, ia pun bergegas masuk ke salah satu pintu, Minggu pagi itu gerbong kereta tak begitu ramai seperti hari-hari biasa. Hanya buruh dan karyawan kantor dan mungkin mahasiswa yang memadati metro itu setiap hari aktif, dengan harga hanya 3.000,- jauh lebih murah dibanding transportasi lain.


Hafaz memperhatikan sekitar, nyaris tak satupun dari mereka yang tidak memakai kerudung. Dengan cueknya Hafaz lalu memasangkan headset ke telinga dan memutar lagu Hati-Hati di Jalan by Tulus. Terkejut ia saat melihat seorang wanita berkerudung di sebelahnya mencolek pundak Hafaz.


"Mas, ini gerbong khusus wanita."


Seketika wajah Hafaz memerah malu: "Oh ya??"


Lalu ia perhatikan kembali penghuni gerbong sekitarnya, dan benar tidak ada satupun lelaki didalam kecuali dirinya. Lalu wanita yang berdiri di depan Hafaz mengarahkan Hafaz untuk berpindah ke gerbong sebelah. Ia kemudian mengantongi headset dan handphone, lalu berjalan ke arah pintu gerbong sebelah dengan santai agar tidak membuat kecurigaan, meski semua penghuni gerbong wanita itu sudah curiga dan memperhatikannya.


Dalam sekejap saja, keringat mengucur ke seluruh tubuh Hafaz.

Ia pun bertanya-tanya, mengapa ada gerbong khusus wanita? Ia pun menerka jawabannya, mungkin karena Indonesia negara mayoritas muslim, sudah benar tindakan pemerintah untuk memfasilitasi gerbong khusus wanita demi meminimalisir terjadinya pelecehan seksual. Metro setiap negara boleh sama, tapi kebijakannya wajar berbeda. Hafaz yakin, dimana bumi berpijak disitu langit dijunjung, meski kerap sekali ia menaiki metro di Amsterdam, Paris dan Turki, tapi tetap harus banyak bertanya-tanya saat hendak menaikinya kembali di Indonesia.


Stasiun Pondok Cina,

Minggu, 4 September 2022

Medan Perang Kang Santri

        Suhu udara begitu dingin. Bandara Schipol terlihat ramai oleh penumpang pesawat yang baru saja mendarat. Mereka rela mengantri panjang demi mendapatkan stempel kecil dari petugas bandara sebagai izin masuk.

Beberapa orang bertas punggung besar melepas lelah setelah berjam-jam di pesawat. Beragam ras, dan warna rambut berbeda. Dari etnis Cina berambut hitam, hingga penduduk eropa berambut pirang. Pemandangan itu mencipta senyum di bibirku. Menakjubkan. Dan aku bagian dari deretan turis yang hendak menjelajah Eropa, yang mengantri di jalur panjang loket imigrasi.

Sore itu, aku menunggu paspor yang sedang di stempel. Setelah sekian lama menunggu, namun hasilnya nihil. Aku perhatikan petugas berambut pirang dan bertubuh besar yang melayaniku. Kutoleh mejanya dan tampak pasporku tak diutik olehnya. Sempat heran, karena penumpang lain, tidak lebih dari tiga menit paspornya selesai lalu dikembalikan dan dipersilahkan masuk. Sedangkan aku, tidak.

            Petugas itu tampak menghubungi seseorang. Aku tidak paham pembicaraan mereka melalui telepon karena kendala bahasa. Teringat olehku sebuah ungkapan yang mengatakan “Barang siapa yang mempelajari bahasa suatu kaum, maka ia akan selamat dari gangguan mereka”.

Tidak lama, datang dua tentara berpakaian anti peluru denga senjata laras panjang menghampirinya. Petugas bandara itu mengisyaratkan sesuatu untuk membawaku.

            “Come on follow me!” ucap seorang tentara berwajah putih tampan.

            Aku terdiam. Jantungku berdegup kencang.

            Kecurigaan mereka terhadapku tampak jelas. Akupun mengikuti perintah kedua petugas keamanan itu. Aku takut jika memberontak dan banyak bertanya, bukannya mereka percaya tetapi malah menganggapku bersalah meskipun benar. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa agar tidak terjadi apa-apa.

            Suasana sunyi dan hening. Para penumpang lain menyorotkan pandangan tajam mengikuti langkahku. Mereka menganggap ada sesuatu yang terjadi. Dan pastilah tuduhan itu tak lain hanyalah tuduhan sebagai teroris meski kedua tanganku terlihat tidak diborgol oleh si tentara.

            Aku mengikuti kedua tentara itu hingga akhirnya ditempatkan dalam sebuah ruangan tertutup. Sebagai makanan pembuka layaknya sebuah interogasi, mereka melontarkan banyak pertanyaan kepadaku. Pertanyaan yang memaksa. Mereka butuh jawaban meski hanya sepatah dua kata yang terucap. Tapi, aku tidak bisa menjawabnya. Dalam kondisi tenang saja aku berbicara dengan terbata-bata menggunakan bahasa Inggris, apalagi dalam situasi yang mencekam seperti itu.

Keringat dingin mulai keluar dari ubun-ubun kepala hingga mata kaki. Kedua polisi gagah dan tinggi besar itu belum puas setelah menakutiku, hingga seorang dari mereka memukul meja yang berada di sampingku dengan sangat keras.

Aku kaget. Pikiranku buyar. Aku seperti menghadapi serigala yang hendak menerkam mangsanya. Begitu menegangkan. Akhirnya aku mengeluarkan suara pelan.

            “I’m... I bring my document sir.” jawabku ketakutan.

            Aku bahkan tidak mengerti lagi kata yang kuucapkan. Benar atau salah grammarnya entahlah. Bukan saatnya mempelajari itu. Bahkan aku tidak sempat membuka kamus untuk mencari sebuah kosa kata.

            Dokumen yang aku bawa sebenarnya sudah lengkap, hanya saja calling visa yang dikirimkan oleh pihak PPME berbahasa Indonesia. Calling visa merupakan salah satu dokumen penting juga sebagai syarat pembuatan visa menuju Eropa. Tanpa dokumen penting ini, maka siapapun akan dipersulit saat memohon pembuatan visa turis. Aku pikir jika visaku sudah keluar maka semua prosesi menuju negara tujuan akan aman dan berjalan lancar. Ternyata tidak saat berada di bandara internasional Schipol ini. Mungkin, karena dampak yang disebabkan oleh peristiwa berdarah beberapa bulan lalu, pikirku.

Awal Januari lalu, sebuah stasiun televisi Maroko, Maroc Press menyebutkan telah terjadi serangan teroris di kantor pusat majalah satir Prancis, Charlie Hebdo. Serangan brutal di kota Paris telah memakan 12 korban jiwa dan 10 orang lainnya terluka. Mengingat kejadian itu, aku sedikit khawatir dengan keberadaanku saat ini.

Aku kembali mencoba memahami pertanyaan si tentara. Ternyata, ia hanya membutuhkan keterangan dari apa yang tertera pada calling visa itu. Aku bingung menjelaskannya.

Karena jengkel dengan jawaban yang tidak jelas, tiba-tiba seorang tentara bertubuh tinggi itu menggenggam kerah baju hendak memukul aku yang sedang duduk.

No..! no..!” teriakku.

(Handphone berdering)

Tangannya berhenti melayang. Sementara kedua tanganku gemetaran hebat karena ketakutan. Jantungku sudah berdegup kencang melihat tangan si tentara yang hampir melayang ke wajah ini.

Belum sempat mengenai wajahku, ia lalu mencari dari arah mana datangnya suara dering ponsel itu. Ternyata handphoneku yang berada di atas meja berdering kencang. 

Ia mengangkatnya.

Pikiranku sudah tidak karuan saat melihat aksi kekerasan itu. Tapi apalah daya, aku berada di negeri orang yang tidak aku kenali.

            Satpam gemuk tersebut mematikan handphone setelah berbicara dengan seseorang. Lalu terdengar suara ketukan dari arah pintu. Tentara berparas tampan membukanya.

Tiba-tiba seorang petugas imigrasi masuk ke ruangan dimana aku ditindas. Diikuti pak Abdi sesepuh Persatuan Pemuda Muslim Eropa (PPME), pak Irwan ketua PPME Amsterdam, dan seorang utusan dari KBRI Den Haag menanyakan keberadaanku. Mereka mencoba menjelaskan dengan bahasa Belanda kepada dua tentara itu. 

Seketika aku bersyukur dan menghembuskan nafas lega. Setelah menyertai data lengkap juga penjelasan rinci dari pihak kedutaan, akhirnya aku dibebaskan dari seleksi maut sore itu.

            “Sudah, jangan diingat-ingat nak Gilang, tenangkan diri kamu dulu. Maafkan saya terlambat menjemput karena harus singgah ke KBRI. Mereka tidak bersalah, mereka sudah melakukan tugasnya untuk mengamankan negara, wajar begitu karena sekarang lagi marak-maraknya isu terorisme. Dan kamu sudah diselamatkan oleh Allah dari tuduhan itu.” tukas pak Abdi menenangkanku.

            Setelah kondisi kembali tenang, pak Abdi langsung membawaku ke rumahnya untuk dijamu lalu beristirahat sebelum melaksanakan tugas beberapa hari lagi. Sepanjang perjalanan pikiranku terngiang-ngiang akan kejadian tragis yang menimpaku tadi. Aku menyadari wabah islamophobia yang ditimbulkan oleh peristiwa Paris itu telah merasuk ke dalam jiwa bangsa Eropa. Tapi, akibat oknum-oknum biadab yang mengatasnamakan Islam itu juga nantinya akan berdampak buruk bagi warga sipil yang tak bersalah sepertiku. Beruntung aku selamat, bagaimana jika terjadi sesuatu kepada warga muslim lain bahkan berakhir dengan penyiksaan hingga hilangnya nyawa?!

Lebih ditakutkan lagi jika wabah islamophobia ini menyebar di kalangan umat islam yang awam dengan pendidikan agama, sehingga mereka akan meninggalkan agamanya sendiri karena ketakutan dengan ancaman bangsa Barat.

            Dua bulan lalu, aku lulus seleksi imam tarawih selama Ramadhan di Masjid Al-Ihsan Amsterdam, Belanda. Sebagai mahasiswa yang masih menimba ilmu di Maroko, tugas ini ialah tugas berat pertama yang aku hadapi.

“Sebenarnya, kegiatan yang diselenggarakan oleh PPME ini sudah ada sejak lama ustad, hanya saja jarak dengan Indonesia cukup jauh, jadi kali ini saya datangkan imam dari mahasiswa kita di Maroko yang dekat.” ujar pak Irwan.

Pak Irwan sudah lama menjabat sebagai ketua PPME di Eropa, pastinya beliau lebih mengetahui kondisi umat muslim di sini. Begitu juga dengan pak Abdi, sesepuh dan pendiri PPME

Ibukota negara kincir terasa sejuk. Pepohonan rindang mengitari jalanan. Tampak bangunan klasik khas Belanda di pinggiran sungai. Begitu memukau. Sore itu, Pak Irwan mengajakku melihat suasana kota Amsterdam ditemani oleh pak Abdi. Mataku terbelalak melihat lingkungan juga arsitektur unik kota ini. Tidak terdengar suara riuh meski jalan dipadati kendaraan bermesin. Tenang dan nyaman. Dari arah lain terlihat beberapa pengendara sepeda dengan santai menikmati indah suasana senja. Uniknya, jalanan kota sangat rapi dan teratur. Tersedia jalur khusus bagi pengendara motor, sepeda, mobil dan trem bahkan pejalan kaki. 

“Islam di Eropa bagaikan bayi yang baru lahir nak Gilang. Lingkungan, ketertiban, dan watak masyarakatnya begitu islami. Nilai-nilai islam sekarang ini sudah tertanam di bumi Eropa, tinggal nunggu mereka masuk Islam saja.”

“Benarkah?” tanyaku penasaran akan penjelasan pak Abdi.

“Iya Ustad, kebersihannya sangat dijaga, jangankan manusia, hewan pun sangat dimuliakan hidupnya.” sambung pak Irwan. “Orang Belanda dikenal sangat ramah Ustad, tapi kasihan sekali warga muslim kita khususnya WNI di sini, mereka bagaikan anak tanpa bapak.”

“Memangnya banyak orang Indonesia di sini pak?” tanyaku penasaran.

“Wah, bukan banyak lagi pak Ustad, di Belanda saja jumlah warga kita ratusan ribu, belum di negara Eropa lainnya. Kita kekurangan ulama yang bisa membimbing dan mengajarkan ilmu agama, mudah-mudahan saja Ustad betah lama-lama ya, syukur kalau bertemu jodoh di sini, hahaha..

Aku tertawa mendengar ucapan pak Irwan. Tapi jika benar seperti yang dikatakan pak Abdi, betapa kasihannya warga muslim di sini. Seorang anak yang tidak memiliki orang tua sebagai pembimbingnya, pasti ia akan bebas memilih jalan yang dikehendaki. Beruntung jika kehendaknya memilih islam yang benar, tapi bagaimana jika ia memilih islam radikal?

Seharusnya, tidak hanya aku yang diutus berdakwah ke negara non-muslim ini. Lagi-lagi ini adalah tugas yang berat. Berat karena bak memandu orang buta namun bisa berjalan. Jika tak dipandu, ia pasti kesulitan melangkah. Berbeda dengan orang pincang namun masih bisa melihat. Ia akan berjalan sendiri meski dengan merangkak. Aku berpikir bahwa medan dakwah seorang santri sepertiku bukan lagi di negara mayoritas muslim dan ilmu keislamannya terbilang cukup lumayan. Hendaknya di zaman modern ini, mereka mengubah haluan dalam bertempur. 

***

            Malam itu cuaca begitu dingin. Seperti malam-malam sebelumnya, aku memimpin tadarus jamaah Masjid Al-Ihsan. Masjid berukuran seluas lapangan futsal ini terlihat ramai tiap malamnya. Meski harus berkendara karena jauh dari rumah, namun semangat mereka tetap berkobar mengikuti pengajian juga dakwah yang aku sampaikan menjelang sholat tarawih.

            Aku menyimak bacaan mereka satu persatu. Bacaan yang masih terbata-bata, bahkan banyak yang belum bisa membaca. Seketika perasaanku bergejolak. Aku sedih dan terharu. Sedih karena melihat calon-calon penegak syiar Islam di Eropa yang belum bisa membaca Al-Quran. Namun aku terharu karena kesungguhan dan kegigihan mereka dalam menekuninya. Meskipun tidak bisa, mereka bahkan tidak pernah absen menghadiri kegiatan islami masjid ini. Aku terenyuh dan terpukul. Rasanya ingin sekali menampar diriku sendiri juga jutaan santri di Indonesia yang hingga saat ini masih memperdebatkan isu wahabi, islam nusantara dan lainnya. 

Jika aku diperkenan berbicara, aku akan menunjuk pesantren Indonesia dan berkata: “Wahai gubuk santri! Jangan engkau biarkan lulusan-lulusanmu ini selalu memperdebatkan apa yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan! Islam di Nusantara sudah berjaya biarlah terus Berjaya! Jangan engkau diam melihat mereka saling menyalahbenarkan aqidah sementara penghasut bertepuk tangan di luar sana! Dan kau wahai santri! Lihatlah betapa sedihnya bangsa nusantaramu yang tidak mengerti! Saat ini mereka butuh sandaran! Mereka butuh bimbingan! Mereka membutuhkan ilmu yang telah kau gali dari gubuk islami! Keluar dan tolonglah mereka! Tegakkan islam nusantara di sana! Bangunlah keimanan dan aqidah mereka! Jangan kau hanya bisa menyalahi! Sudahi perselisihan ini! Keluar dan didik islam versi kita yang baru lahir di negara non-islami!”

***

            Subuh menyapa kota Amsterdam. Angin kian berhembus dari segala penjuru. Aku menaikkan resleting jaket yang kukenakan hingga tertutup sempurna. Usai salat, pak Abdi memanggilku. Sejak semalam aku melihat raut wajahnya begitu cemas, seperti memikirkan sesuatu.

            “Begini nak Gilang, si Ihsan anak saya kemarin sore pulang ke rumah. Tiba-tiba ia berkata hendak keluar dari agama Islam. Saya kaget dan takut mendengarnya. Sebelumnya, ia memang sering curhat kalau teman-temannya di kampus selalu menuduh-nuduhnya. Saya menduga ini terjadi karena dampak dari tragedi teroris itu. Teman-teman muslimnya yang lain juga selalu disudutkan di kampus bahkan banyak yang disiksa sampai akhirnya mereka dipaksa keluar dari Islam.”

            Kedua bola mata pak Abdi berkaca-kaca. Aku bisa memahami kondisi beliau sebagai sesepuh PPME yang telah memperjuangkan islam di Eropa namun harus mengalami masalah internal yang tak terduga.

            “Ihsan satu-satunya putra saya nak Gilang, dari kecil dia selalu saya ajak ke masjid ini, tapi karena hidup di lingkungan Eropa semangatnya menciut. Malah sekarang imannya goyah dan mau murtad karena tidak sanggub dengan hinaan itu, bagaimana anggapan orang untuk keluarga saya?! Mungkin saya tidak sanggub lagi membina PPME karena keluarga sendiri gagal saya didik.” ucap pak Abdi sedih.

             Lalu aku meminta beliau mempertemukanku dengan Ihsan.

Saat bertemu, aku mencoba menghiburnya dengan sapaan-sapaan yang santun. Dan terakhir aku berhasil memancingnya mengungkapkan keluh kesah yang ia rasakan selama ini. 

“San, kalau kamu keluar dari Islam, apa kamu yakin kamu bakal merasa tenang dan nyaman? Apakah mereka akan percaya bahwa kamu bukan lagi muslim yang dituduh-tuduh sebagai teroris? Kamu salah memilih keputusan itu San.”

“Terus kalau salah, kenapa orang Islam saat ini diam? Kenapa kalian diam melihat penderitaan mereka yang tidak bersalah?!” bentaknya.

“Umat Islam tidak diam San, saat ini mereka sedang mencoba melawannya dengan cara yang berbeda. Tidak selamanya kekerasan itu dibalas dengan kekerasan. Islam itu rahmatan lil’alamin. Sudah saatnya kita menunjukkan nilai-nilai islam yang sesungguhnya. Memang, teroris itu sudah merusak nama baik agama kita, tapi apa kamu pasrah dan tidak membela keimanan kamu? Semua orang juga pasti akan membela keyakinannya hingga harus tumpah darah. Kamu itu muslim sejati San, ayo kita bangkit dan bela agama kita. Seperti yang saya katakan, bukan dengan kekerasan. Tapi dengan pendekatan hati dan kasih sayang. Kamu dulu rajin ke masjid kan? Ayo mulai sekarang kamu perbaiki diri, sama-sama kita tolong jamaah kita yang membutuhkan. Aku dengar bacaan Al-Quran kamu bagus, nanti malam bantu aku ajarimereka ya. Setelah itu aku juga akan ceritakan bagaimana kisah Rasulullah dulu saat berdakwah dengan cara yang santun tanpa kekerasan.”

Akhirnya Ihsan menangis menyesal, seketika pak Abdi memeluknya.

Saat itu aku berpikir, tidak ada jalan lain untuk membasmi fobia Eropa terhadap Islam, melainkan dengan jalan dakwah. Berdakwah dalam menegakkan syiar ilahi dan ruh Islam yang suci. Nilai-nilai Islam telah lama terkubur bersama jiwa yang keruh. Ia menanti kehidupan yang jernih, kehidupan yang belum pernah tercampuri noda-noda fitnah dan butiran khianat.

Panji-panji Islam harus selalu tegak. Tegak menjulang melalui sandi-sandi Al-Quran. Menuju medan perang membela kebenaran. Pesantren hanya bisa diam, namun lulusannya yang akan berjuang. Perjuangan sengit di medan pertempuran. Oleh mereka, para santri untuk Indonesia.

Rasa Lapar Yang Membuatku Kenyang



Hampir tiap Jum'at si Fulan datang gedor-gedor pintu tanpa suara, kebiasaan orang Maroko mengetuk pintu rumah tetangga tanpa salam, usai menyerahkan dulang keramik berisi kuskus daging ia langsung cabut, belum pun sempat aku ucapkan terima kasih dan dua patah doa, kadang ia dan adiknya hanya melempar tawa. Mungkin mengira aku tidak paham bahasa Mereka. Benar, memang aku tidak paham Amazigh Berber, tapi setidaknya aku mencoba hafal satu kata dalam sehari.


"Tanmart...!" ucapku dari jauh sambil melihatnya berlari.


(Tanmart: Terima Kasih)


Rutinitas fastabiqul khairat di desa terpencil ini begitu terasa. Banyak yang ringan tangan dan tanpa pikir panjang sesekali bapak tua menyalami tempel kami dengan 200 dirham Maroko (setara 300 ribu rupiah). Entah dari mana asalnya, yang pasti warga sekampung sudah tahu keberadaanku di sini mengaji dan mengabdikan diri kepada seorang syekh, fakih dan imam masjid kampung Tadart.


Hanya saja hari Jumat ini berbeda, setelah menanti lama kedatangan si Fulan membawa kuskus yang tak kunjung tiba, kami memutuskan masak sendiri dengan bahan dan rempah seadanya. Tapi, tidak lama terdengar ketukan pintu dari luar, aku bergegas membuka sambil membayangkan kerucut kuskus kuning ditumpuk sayuran berkuah dengan daging masih berasap, oh Tuhan... makanan itu sangat ku nanti-nantikan.


Setelah pintu terbuka, aku tidak melihat si Fulan Berber itu, hanya ada dua orang lelaki meminta izin untuk menitipkan ranjang besi yang baru saja dipakai cuci jenazah. Aku teringat salah seorang warga meninggal dan disalatkan bersama usai salat Jumat tadi. Astaga, harapan ku sirna. Sumpah, bulu kudukku masih merinding memperhatikan ranjang besi basah itu dibawa masuk ke kamarku. Seketika, mood ku berubah tidak lagi menginginkan makanan. Yang ku ingat hanya kematian. 😂

TAHUKAH ANDA Tentang Bahasa Aljamiado ?



Sebagaimana kita ketahui, munculnya bahasa Jawi dan Pegon di Nusantara (ialah bahasa melayu dan

jawa yang ditulis dengan aksara Arab) sejak abad ke-17, seperti dalam naskah-naskah Islam yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry (w.1658), dan Abdurrauf as-Singkili (w.1693) merupakan suatu bentuk proses transmisi ilmu dari bahasa asing ke bahasa lokal yang digunakan oleh masyarakat, terlepas dari beberapa tuduhan yang dilemparkan bahwa hal ini adalah motif semangat anti-Arab.

Secara aksiologi, apakah tujuan bahasa-bahasa ini ditulis di Nusantara selain memberikan kemudahan bagi masyarakatnya untuk mempelajari Islam? Adakah dasar dan landasan lain yang menyatakan bahwa bahasa ini harus diterapkan? Sementara, saya hanya menemukan penggunaan bahasa Aljamiado di Spanyol-Islam dulu yang praktiknya hampir sama seperti bahasa Jawi dan Pegon di Nusantara.

Bahasa Aljamiado -dibaca: al-khamiado- (Bahasa Arab: اللغة الخميادية), adalah bahasa sehari-sehari bangsa Moriscos dan ditulis dalam manuskrip-manuskrip islam di Spanyol dengan memakai bahasa Arab untuk mentranskripsikan bahasa-bahasa Eropa, khususnya bahasa Romansa, seperti: Mozarabik, Portugis, Spanyol, dan Ladino. (Historia de España musulmana. Chejne, A.G, 1993)

Opening leaf of the text with Latin note and text in Aljamiado
University of Cambridge digital library

Sejak pemaksaan murtad kaum muslim di Spanyol oleh inkuisisi setelah berakhirnya kekuasaan Islam di Granada, pendeta Kardinal Ximenez de Cisneros awalnya menarik buku-buku Arab dari peredaran, yakni buku-buku tentang Islam, dengan cara membakarnya di lapangan utama Granada. Granada menjadi medan api unggun tempat pembakaran naskah-naskah Arab ketika itu. Umat muslim (Moriscos) yang secara terpaksa dibaptis oleh orang-orang Kristen pun mulai takut dan khawatir dalam menggunakan bahasa Al-Quran. Kalau ketahuan, pastinya mereka akan merasakan akibat buruknya. Dalam kondisi keterpaksaan inilah, akhirnya muncul bahasa Aljamiado, mereka menggunakan bahasa Romawi tetapi ditulis menggunakan aksara Arab. Sehingga siapapun yang bisa berbahasa Arab tapi tidak mengerti bahasa Romawi pasti tidak akan bisa membaca manuskrip-manuskrip berbahasa Aljamiado, layaknya Jawi dan Pegon.

Sebuah kumpulan naskah dan manuskrip berbahasa Aljamiado semacam itu ditemukan di bawah lantai sebuah rumah tua di Aragon, tempat naskah ini disembunyikan oleh para perwira yang menjalankan inkuisisi. Naskah-naskah itu adalah "Manuscritos drabes y aljamiados de la Biblioteca de la Junta". (A.R. Nykl, A Compendium of Aljamiado Literature, Paris, 1928).

Di bawah ini adalah salah satu contoh naskah bahasa Aljamiado yang sudah ditranskripsikan ke dalam bahasa latin), berupa lirik pujian atas Nabi Muhammad SAW. dalam perayaan kelahirannya (maulid Nabi) yang berasal dari abad ke-17.

...
Señyor, fes tu assalá sobr’él,
i fesnos amar con-él,
sácanos en su tropel,
jus la señya de Muḥammad.

Façed assalá de conçençia
sobre la luz de la creyençia
e sillaldo con revenençia
i dad a’ççalám sobre Muḥammad.

Tu palabra llegará luego,
e-será reçebido tu ruego,
e-abrás a’ççalám entrego,
esos son los fejos de Muḥammad.

Quien quiera buena ventura,
i -alcançar grada de altūra
porponga en la noje escūra
l-a||alá sobre Muḥammad.

El-es cunbre de la nobleza,
corona de gran riqueza,
cunplimiento de leal alteza,
estas son figuras de Muḥammad.

De su olor fue ell-almiçke de grada,
relunbró la luna aclarada,
e naçyó la rosa onrada
de la sudor de Muḥammad.

Señyor de la grada graçyosa,
d-él naçyó la çençia acuçiosa,
cabdillo dell-alumma preçiosa,
este es nuestro annabī Muḥammad.

A Edam e a Nūḥ fue adelantado,
i a Ibrāhīm i a Içmāʿīl el degollado,
i con ʿĪçā fue albiçreyado,
en todo s-adelantó Muḥammad.

De qu-enpeçó la su venida
la tierra estaba ascureçida,
e luego fue esclareçida,
i clareó con la luz de Muḥammad.

Como enpeçó la creyençia,
luego cayó la descreyençia,
Asām i toda su pertenençia,
aclaró de la luz de Muḥammad.

Los almalakes deçendían,
todas muy alegres vinían,
las alḥurras así fazían,
albriçyando con ti yā Muḥammad!

Los lugares todos poblaste,
con dereja razón que mostraste,
los assayṭānes apedreaste,
éste es el secreto de Muḥammad.

Vino con-alunbramiento onrado,
i con addīn muy ensalçado,
e caminó muy dereçado,
ture la guiaçion de Muḥammad.

Quién contará sus maravillas,
como de la pluvya las sus gotillas,
e dones de grandes valías
que fueron dados a Muḥammad?

Ay partida de la guía,
qu’averdadeçe su mesajería!
Llamólo la corça de día:
Defiéndime yā Muḥammad!

Yo é dos fijos en cría,
Dísome ell-uno: Ve todavía
all-arraçul sin miedo, fía
en la segurança de Muḥammad.

El gemer del tronco deseyado
con palabras ubo fablado.
Tornó ell-oŸo a su estado.
El camello fabló a Muḥammad.

Testemonyó la criaūra
que del juizyo él-era la fermosūra.
Fízole sonbra la nube escūra,
las palomas acosieron a Muḥammad.

Soldó la luna depués que fendió,
ell-espalda fabló e cayó,
de la palma luego comyó,
como la plantó Muḥammad.

Ell-awa d’entre sus dedos
manó como manaderos.
Un puñyo fartó a mil fanbrientos,
Como bendiso en-ella Muḥammad.

Del-alfaḍīla del-Alqur’an onrado,
siete aleyas de al^amdu preçyado
abarcan muy gran dictado,
todo por la onra de Muḥammad.

El día de la gran tristeza
publicars-á la su nobleza.
Dirá el rey de la alteza:
Demanda i dart-é yā Muḥammad!

Alça la cabeça mi privado,
i ruégame por tu amado.
Aquel día todo ell-alfonsado
tienen feguza en Muḥammad,

de qu-asentará el mejorado
En-alganna, en-alto grado,
a donde graçya ell-onrado,
a los qu-alegraron a Muḥammad.

Salrá con albiçra i riḍwān,
con alḥurras i wildān,
con plateles de rayān,
al reçebimiento de Muḥammad.

Los alminbares de los annabíes,
e los alkurçies de los alwalíes,
e las sillas de los taqíes,
çerc-al-alminbar de Muḥammad.

En los alcáçares de las alturas
con muy graçyosas alḥuras,
e de muy nobles feguras,
para los amigos de Muḥammad.

El Señyor noble llamando:
Warneçed mi-siervos coronando,
qu-ellos son los de mi bando
Pues no contraryaron a Muḥammad.

Lo que les prometieron fallaron,
e todo cuanto desearon
en-alganna para siempre los graçiaron,
que son alumma de Muḥammad.

Qu-él-es mi castillo i mi warda,
e sus amores la mi alfarda,
aunque mujo se me tarda,
ayúdome con ti yā Muḥammad!

Que mi presona es mujo dura,
non reçibe castigadura,
yo é miedo, avergonçadura,
sey mi abogado, yā Muḥammad!

Que en mi dijo i en mi fejo
tengo yo gran despejo,
apiade Allah elmi derejo
i déme ell-amor de Muḥammad.

Aquí alabo los tus grados;
lonbraré a l-aṣṣiḥāba onrados,
qu’ellos fueron los alabados
pues ayudaron a Muḥammad.

Apiade Allah el cuerpo dell-alimām
Abī Bakr y ʿUmar i ʿUzmān
i ʿAlī ell-alabado tanbién,
mienbro de los mienbros de Muḥammad.

Bendiçyon sea sobre albatūl,
i sobre los dos fijos ʿadūl,
i sobre las mujeres del-arraçūl,
i toda l- aṣṣiḥāba de Muḥammad








Fatwa Mufti Oran Tentang Konversi Paksa Moriscos Spanyol ke Agama Katolik



Sebagaimana diketahui, bahwa Dewan Inkuisisi Spanyol (Tribunal del Santo Oficio de la Inquisición) dibentuk beberapa tahun sebelum runtuhnya kerajaan Granada pada 1491 M dengan tujuan memelihara ortodoksi Katolik dalam tubuh Semenanjung Iberia. Pada mulanya, Spanyol setelah reconquista merupakan masyarakat beragama yang relatif aman dan damai, namun selanjutnya terjadi kekerasan anti-Yahudi dan anti-Islam.

Pada tanggal 31 Maret 1492, bertepatan dengan dikeluarkannya Dekret Alhambra oleh Isabella I dari Kastilia dan Ferdinand II dari Aragon, orang-orang Yahudi mulai menghadapi pengusiran dari Kerajaan Spanyol dan wilayah-wilayahnya. Mereka diberi waktu empat bulan sejak Dekret dikeluarkan untuk meninggalkan Kerajaan Kastilia. Selain itu, mereka yang menentang akan dihukum mati, bahkan orang-orang Kristen di Kastilia diperingatkan untuk tidak melindungi ataupun menyembunyikan mereka di rumahnya. Selama periode ini, mereka berhak menjual semua properti yang dimiliki atau memilih untuk disita. ('Inan, 1997, h. 340) Dengan begitu, banyak orang Yahudi yang tunduk dan menyerah pada kristenisasi karena mengasihani harta dan tanah tempat tinggal mereka. Di samping itu, banyak pula yang dijebloskan ke penjara pengadilan suci hingga binasa dibakar dalam ritual auto-da-fe[1]karena tetap setia pada ajaran nenek moyangnya.

Begitu pula yang terjadi pada umat Muslim Spanyol pasca penyerahan kota Granada. Pada tahun 1502, terjadi upaya untuk melakukan kristenisasi seluruh umat Muslim Spanyol seiring semangat reconquista orang-orang Kristen (Fernández y González, 1985). Konversi paksa tersebut terus dilakukan oleh tiga kerajaan Kristen, yaitu Kastilia, Navarre dan Aragon.

Literatur Islam tidak jarang mendeskripsikan insinerator Dewan Inkuisisi atau pembakaran umat Muslim karena tuduhan tidak senonoh dan tidak bermoral. Mereka yang lebih memilih untuk tinggal di tanah air dan dipaksa konversi agama pun tidak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk penganiayaan. Hal itu karena bangsa Moriscos atau Arab Kristen selalu menjadi objek kebencian dan kecurigaan. Umat Kristen Spanyol menolak untuk mengajak mereka bergabung ke dalam kelompoknya, dan Gereja Spanyol tidak percaya akan dedikasi mereka terhadap agama baru yang dianut, justru khawatir suatu saat mereka akan kembali murtad.

Dengan demikian, kebijakan Gereja Spanyol tersebut jauh dari praktik kristenisasi Muslim yang sebenarnya, melainkan bertujuan untuk memusnahkan mereka, menghapus jejak dan agama serta peradaban mereka.

Faktanya, bangsa Moriscos tetap setia pada ajaran agama nenek moyangnya. Dan Gereja, meskipun dengan upaya yang sangat besar, tetap tidak dapat membawa mereka kepada kesetiaan agama yang diperoleh melalui paksaan, hingga penganiayaan yang terus berlanjut. Begitulah yang disebutkan oleh sejarawan Spanyol, Luis del Mármol Carvajal, (Carvajal, 2001) ia menggambarkan kehidupan Moriscos di lingkungan kota Granada yang selalu merasa keberatan dengan agama baru yang dianut, jika mereka pergi misa pada hari Minggu, itu hanya demi menjaga tradisi dan ketertiban, dan mereka tidak pernah jujur pada saat pengakuan dosa. Sementara di hari Jumat mereka mandi, memakai hijab dan melakukan salat dalam rumah-rumah mereka yang tertutup. Saat anak-anak mereka pulang, mereka memandikannya dengan air panas dan memanggil mereka dengan nama Arab. Begitu juga pada pesta pernikahan, mempelai wanita kembali dari gereja usai mengikuti pemberkatan, lalu menanggalkan pakaian Kristennya dan mengenakan pakaian Arab, kemudian mengadakan pesta sesuai dengan tradisi Arab.

Bagaimanapun, dalam bayang-bayang kristenisasi di Spanyol, bangsa Moriscos tetap memiliki keterikatan terhadap keyakinan lama mereka, dan mempraktikkan ritual Islam secara diam-diam. Di sisi lain mereka mencari semua cara dan alasan hukum yang dapat membenarkan perilaku mereka, meski terpaksa mengikuti syiar agama Kristen.


Embarkasi Moriscos di pelabuhan Grao di Valence.


Hampir semua peneliti yang mempelajari sejarah Moriscos di Semenanjung Iberia setuju bahwa orang-orang Andalusia yang terpaksa masuk agama Kristen telah menjalani kehidupan yang samar dan unik, dimana mereka bertahan pada dualisme akidah yang menggabungkan perpindahan paksa mereka ke agama Kristen dan kesetiaan abadi mereka kepada Islam, sehingga mereka hidup berpura-pura memeluk agama Kristen secara zahir dan menjadi Muslim secara batin (taqiyah).

Diantara sejarawan ada yang membenarkan pengusiran orang-orang Moriscos dari Semenanjung Iberia pada 1609 karena kepatuhan dan kesetiaan mereka pada Islam, bahkan raja dan gereja kehilangan harapan untuk mengubahnya menjadi umat Katolik yang taat kepada negara Spanyol. Adapun salah satu rahasia keteguhan mereka adalah karena desakan dari mufti dan ulama Maroko seperti fatwa Syekh Ahmad Al-Wansharisi (w. 1508) yang menyatakan bahwa seorang Muslim seharusnya tak menetap di sebuah negara saat para penguasanya melarang ajaran Islam. Selain itu, al-Wansharisi menekankan bahwa telah terpenuhi sebab-sebab untuk berhijrah, karena rukun Islam dan Iman sama sekali tidak bisa dipraktikkan dibawah kekuasaan Gereja Spanyol, ditambah umat Muslim menghadapi segala bentuk penyiksaan dan penderitaan, oleh karena itu wajib bagi mereka beremigrasi meninggalkan negaranya. (Al-Wansharisi, 1981, h. 138) Fatwa ini cenderung keras dan tak luput dari perdebatan sebagian ulama seperti Husein Mu’nis, ia mengkritik fatwa al-Wansharisi, yang seolah tidak memperhatikan kondisi Muslim Moriscos kesulitan untuk meninggalkan tanah air yang telah ditaklukkan oleh nenek moyang mereka beberapa abad lalu. Bahkan mayoritas mereka terbilang lemah dan tidak mampu untuk berhijrah, sementara al-Wansharisi menghukumi mereka yang tetap bertahan akan masuk neraka, seandainya ia mengambil asal hukum dari hadist Nabi SAW: “Akan tiba suatu masa pada manusia, siapa diantara mereka yang bersikap sabar demi agamanya, ia ibarat menggenggam bara api[2], maka terlepaslah mereka dari belenggu kekafiran. (Mu’nis, 1957, h. 132)

Adapun fatwa jenis kedua dianggap bertendensi fleksibel dan toleran, yaitu berasal dari Grand Mufti Oran, Abu Abbas Ahmad bin Abi Jum’ah al-Maghrawi al-Wahrani (w. 1534) atau kemudian dikenal dengan Fatwa Oran, ialah fatwa yang membolehkan Muslim Spanyol agar secara diam-diam mempraktikkan Islam, dan memberikan dispensasi komprehensif bagi mereka menyesuaikan diri dengan agama Kristen dan memungkinkan mereka melakukan tindakan yang dalam kondisi normal dilarang Islam dengan alasan bertahan hidup.

 

§  Penerjemahan Risalah Fatwa Oran ke Dalam Bahasa Aljamiado

Fatwa Abu Jum’ah al-Maghrawi ditujukan utamanya kepada umat Muslim di Kerajaan Granada dan Castile, karena dua wilayah tersebut merupakan awal kemunculan upaya kristenisasi paksa pada saat itu.

Sejauh ini para sejarawan telah menemukan tiga salinan dari risalah fatwa tersebut:

1.     Salinan pertama terdapat dalam kumpulan manuskrip Borgiani di Perpustakaan Vatikan (Biblioteca Apostolica Vaticana) yang ditemukan oleh Sarjana Mesir, Muhammad Abdullah ‘Inan selama penelitian di Roma, Italia, dan diterbitkan pada tahun 1958 dalam bukunya: “The End of Andalusia and the History of the Advocated Arabs.” (‘Inan, 1997, h. 342-344) Tampaknya sejarawan Inggris Harvey menemukan versi bahasa Arab yang sama, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1962 dalam rangka konferensi pertama Studi Islam Cordoba.

2.     Salinan kedua adalah terjemahan berbahasa Aljamiado, ditemukan di Royal Academy di Madrid, dan sebagian diterbitkan dalam Bahasa Kastilian oleh sejarawan Pedro Longas pada tahun 1915 dalam bukunya “La Vida Religiosa de Los Moriscos”. Diyakini bahwa salinan tersebut diterjemahkan pada tahun 1563 M. (Longas, 1989, h. 305-307)

3.     Salinan ketiga juga merupakan terjemahan dalam Bahasa Aljamiado, ditemukan di Perpustakaan Les Méjanes di Aix-en-Provence, Prancis. (Stewart, h. 266-267) Salinan ini diterjemahkan pada Desember 1503. Kemudian diterbitkan oleh sejarawan Prancis Cantino di majalah "Koran Asia" pada tahun 1927.

 

Peneliti Spanyol Maria Jesus Rubiera Mata mengatakan bahwa risalah fatwa Abu Jum’ah al-Maghrawi ditulis pada tahun 1504 dalam bahasa Arab, dan dibawa ke Semenanjung Iberia melalui Valencia, yang pelabuhannya merupakan jalur bagi mereka yang datang dari dan ke Andalusia. Kemudian ditulis ulang oleh Mudéjar Aragon pada dekade kedua abad ke-16, dan dibawa ke Aragon dengan teks Arab lainnya. Ketika Kristenisasi diberlakukan pada Muslim Aragon (tahun 1526 M) dan dimulainya tekanan dari Inkuisisi, Moriscos menerjemahkan fatwa tersebut ke dalam bahasa Spanyol dalam huruf Arab (Aljamiado) pada tahun 1563 M. Dan saat ini salinan tersebut masih tersimpan di Madrid.

Pada tahun 1609 M, dan tidak lama sebelum pengusiran terakhir dari Andalusia, beberapa Moriscos Aragon menerjemahkan ulang fatwa tersebut ke dalam Aljamiado, dan salinan tersebut saat ini disimpan di Perancis.

 

§  Isi Teks Fatwa Oran



Fatwa Oran dikeluarkan oleh Mufti Abu Jum’ah al-Maghrawi pada tanggal 1 Rajab tahun 910 H bertepatan dengan tanggal 18 November tahun 1504 M, yang berarti 12 tahun setelah jatuhnya Granada, karena kampanye kejam terhadap Andalusia meningkat selama pemerintahan Isabella dan Ferdinand. Fatwa tersebut ditulis dengan tujuan memberikan kelonggaran bagi mereka yang berpura-pura mengikuti agama Katolik, melanggar larangan-larangan syariat, dan tidak menyempurnakan kewajiban seperti salat, wudhu, zakat, dan lainnya dalam keadaan terpaksa.

Adapun risalah fatwa ini dimulai dengan ungkapan puji dan syukur kepada Allah dan salawat kepada Rasulullah SAW. kemudian pujian kepada Moriscos Andalus yang berpegang teguh pada agama Allah seperti pencengkeram bara api sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi, sebab kesabaran dan keteguhan mereka dalam beriman dengan menanggung pedihnya siksaan, hingga menembusnya dengan mengorbankan harta dan anak-anak mereka karena mengharap ridha Allah SWT. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai surgaNya, mereka adalah orang-orang yang asing dari agama, namun senantiasa dekat dengan ridha Allah dan ampunanNya, karena mereka pewaris para Nabi dalam menghadapi ujian, dan sabar dalam menanggung kepedihan.

Berikut adalah terjemahan teks fatwa Oran sebagaimana tercantum dalam kitab "Dawlat al-Islam fi al-Andalus(‘Inan, 1997, h. 342-344):

(Segala puji bagi Allah, dan semoga berkah dan damai atas tuan kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saudara-saudara kita yang memeluk agama mereka, seperti pencengkeram bara api, mereka yang telah diberi pahala oleh Tuhan dengan apa yang mereka temui dalam Dzat-Nya, mendidik jiwa bersabar dalam keridhaan-Nya, orang asing yang dekat, insya Allah, dari lingkungan Nabi-Nya di surga tertinggi dari surgaNya, dan mereka mewarisi jalan leluhur yang saleh untuk menanggung kesulitan bahkan jika jiwa mencapai kerongkongan. Kami memohon agar Allah senantiasa berbaik hati kepada kami dan agar membantu kami dan Anda dalam mematuhi hak-Nya dengan itikad baik dan ketulusan, dan agar menunjukkan jalan keluar bagi kami dan Anda dari setiap masalah dan setiap kesulitan.

Setelah mengucap salam sejahtera menyertai Anda, dari yang menuliskannya untuk Anda, dari hamba Tuhan, bahkan lebih rendah dari para hamba-Nya dan yang paling membutuhkan pengampunannya, hamba Ahmed Ibn Boujum’ah Al-Maghrawi, kemudian Al-Wahrani.

Tuhan senantiasa ada bersama umatnya dengan segala kebaikan dan kerahasiaannya, aku meminta kepada Anda ketulusan doa, agar diberikan akhir yang baik, dan keselamatan dari negeri yang menakutkan, serta bergaul dengan mereka yang telah diberkati Tuhan dari antara orang-orang yang benar, menegaskan Anda dalam kepatuhan pada agama Islam, dan menyampaikan syiar tersebut kepada anak-anak Anda. Jika Anda tidak takut bahwa kejahatan akan masuk karena memberi tahu musuh Anda tentang kawanan Anda, maka bahagialah orang-orang asing yang berbuat kebaikan manakala manusia sedang berbuat kerusakan, dan sungguh mengingat Allah diantara yang lalai bagaikan hidup di antara yang mati, maka ketahuilah bahwa berhala adalah ukiran kayu, dan batu besar yang tidak berbahaya dan tidak berguna, dan bahwa kerajaan adalah milik Tuhan, Ia tidak mempunyai anak, dan tidak memiliki Tuhan. Maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam menyembahNya, salatlah meskipun itu dengan isyarat, dan berzakatlah walaupun dengan bertindak dermawan kepada pengemis, karena Tuhan tidak melihat sikap Anda, tetapi melihat hati Anda, dan bersucilah setelah junub bahkan dengan cara menyemplung ke dalam lautan. Dan jika Anda dicegah, maka salatlah di malam hari sebagai ganti siang (qadha), dan Anda harus melakukan tayamum bahkan jika Anda menyeka dinding dengan tangan Anda. Jika tidak menemukan air atau debu maka gugurlah salat sesuai riwayat yang masyhur, kecuali memungkinkan Anda melakukannya dengan isyarat, sebagaimana Ibnu Naji at-Tanukhi mengutipnya dalam kitab ‘Syarh ar-Risalah’: “Hendaklah kalian laksanakan semampu kalian”.

Dan jika mereka memaksa Anda selama waktu salat untuk bersujud kepada berhala atau menghadiri salat mereka, maka tentanglah dengan niat, dan lakukan niat salat seperti yang disyariatkan, dan merujuk pada apa yang mereka sebut sebagai berhala, sedangkan yang Anda maksud adalah Allah. Dan jika pada selain kiblat maka salatlah sebagaimana Anda salat dalam keadaan khauf. Dan jika mereka memaksa Anda untuk minum anggur, minumlah tanpa niat menikmatinya atau kesenangan pribadi. Dan jika mereka memaksa untuk memakan babi, makanlah dengan isyarat ingkar dalam hati, dan meyakini keharamannya, sebagaimana pula jika mereka memaksa untuk melakukan perkara yang haram. Dan jika mereka menikahkan putrinya dengan Anda, maka boleh karena mereka adalah golongan ahli kitab, dan jika mereka memaksa untuk menikahkan putri Anda dengan mereka, pikirkanlah bahwa itu dilarang bahkan tanpa paksaan, dan bahwa Anda menyangkalnya di dalam hati Anda, dan jika Anda menemukan kekuatan, Anda akan mengubahnya.

Begitu juga jika mereka memaksa melakukan riba atau perbuatan terlarang, lakukanlah dengan menyangkalnya di dalam hati, Anda hanya perlu menyedekahkan sisa uang tersebut jika Anda bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan jika mereka memaksa mengucapkan kalimat kufur, jika Anda bisa memberi tanda baca dan teka-teki, maka lakukanlah, jika tidak, yakinkan hati Anda dengan menyangkal hal itu, dan jika mereka memaksa untuk mencaci Muhammad, maka sebutlah (Mumad), karena mereka mengucapkannya seperti itu, kemudian menghina seperti biasa, dengan maksud bahwa itu adalah Setan, atau Mumad nya orang-orang Yahudi, begitu banyak dari mereka yang memiliki nama tersebut. Dan jika mereka mengatakan Yesus mati oleh penyaliban, maka niatkanlah sebagai bentuk kehormatan terhadap kematian, penyaliban dan menunjukkan pujian untuknya di hadapan orang-orang, tetapi sesungguhnya Allah telah mengangkat Nabi Isa kepada-Nya. Apa-apa yang menyulitkan Anda, kirimkan kepada kami, kami akan membimbing Anda, Insya Allah, sesuai dengan apa yang Anda tulis. Dan aku memohon agar Allah senantiasa menggiring bola kepada Islam sehingga Anda secara terbuka dapat menyembah Tuhan dengan tanpa kesulitan dan ketakutan.

Kami bersaksi bahwa Anda percaya kepada Allah dan ridha kepada-Nya, damai sejahtera bagi Anda semua.

Pada hari pertama Rajab di tahun sembilan ratus sepuluh, dan semoga Allah mengetahui apa yang baik.

Risalah ini menjangkau orang asing, Insya Allah.)

 

 

Demikianlah bagaimana bangsa Moriscos terpaksa berpura-pura menjadi Kristen sebab takut akan investigasi yang digencarkan oleh Dewan Inkuisisi Spanyol dengan membunuh dan membakar siapa pun yang menunjukkan tanda-tanda Muslim atau Arab, sampai-sampai mereka mengubah nama mereka, dan beberapa diantaranya lebih suka beremigrasi ke Afrika Utara dan negara-negara Arab, seperti yang dilakukan oleh Ahmad ibn Qasim al-Hajari, ketakutan yang ia alami tersebut kemudian ditorehkan dalam bukunya “Nashir ad-Din ‘ala al-Qawmi al-Kafirin”, dan “Rihlat as-Syihab ila Liqa’ al-Ahbab”, yang menjadi dokumen sejarah terpenting yang merekam evakuasi Muslim dari Andalusia, antara tahun 1609 sampai 1614 M.

 



[1] Auto-da-fé merupakan istilah yang dipakai sebagai praktik ritual penebusan dosa publik yang diterapkan pada abad ke-15 sampai 19 M terhadap orang-orang yang dituduh melakukan bidah dan mutad oleh Inkuisisi Spanyol dan Portugis. Bentuk hukuman fisiknya seperti dicambuk, disiksa dan paling ekstrem dibakar di tiang pancang.

[2] Hadits diriwayatkan oleh at-Tarmidzi dari Anas bin Malik, dalam kitab Sunan at-Tarmidzi, juz IX, h. 4, no. 2428.




 

Daftar Pustaka

1.     ‘Inan, Muhammad Abdullah. Dawlat al-Islam fi al-Andalus: Nihayat al-Andalus wa Tarikh al-‘Arab al-Muntashirin, Cet. IV, (Maktabah al-Muhtadin al-Islamiyah li Muqaranat al-Adyan, 1997).

2.     Al-Wansharisi, Ahmad. Al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa ‘Ulama Ifriqiyya wa al-Andalus wa al-Maghrib, jilid 2, (Beirut: Dar el-Gharb el-Islami, 1981).

3.     Carvajal, Luis del Marmol. Historia del rebelión y castigo de los moriscos del Reino de Granada, (Biblioteca de la Universidad de Alicante, 2001).

4.     Longas, Pedro. La Vida Religiosa de Los Moriscos, (1989).

5.     Mu’nis, Husein. “Asna al-Matajir fi Man Ghalaba ‘ala Wathanihi an-Nashara wa lam Yuhajir”, Jilid 6, dalam Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyah Madrid, (1957).

6.    Stewart, Devin. “The Identity of the Mufti of Oran, Abu al-Abbas Ahmad b. Abi Jum’ah al’Maghrawi al-Wahrani”, Al Qantara, Madrid, 27 (2).

7.    Fernández y González, Estado social y político de los mudéjares de Castilla, (Madrid, 1985).