BREAKING NEWS
latest

Advertisement

Fatwa Mufti Oran Tentang Konversi Paksa Moriscos Spanyol ke Agama Katolik



Sebagaimana diketahui, bahwa Dewan Inkuisisi Spanyol (Tribunal del Santo Oficio de la Inquisición) dibentuk beberapa tahun sebelum runtuhnya kerajaan Granada pada 1491 M dengan tujuan memelihara ortodoksi Katolik dalam tubuh Semenanjung Iberia. Pada mulanya, Spanyol setelah reconquista merupakan masyarakat beragama yang relatif aman dan damai, namun selanjutnya terjadi kekerasan anti-Yahudi dan anti-Islam.

Pada tanggal 31 Maret 1492, bertepatan dengan dikeluarkannya Dekret Alhambra oleh Isabella I dari Kastilia dan Ferdinand II dari Aragon, orang-orang Yahudi mulai menghadapi pengusiran dari Kerajaan Spanyol dan wilayah-wilayahnya. Mereka diberi waktu empat bulan sejak Dekret dikeluarkan untuk meninggalkan Kerajaan Kastilia. Selain itu, mereka yang menentang akan dihukum mati, bahkan orang-orang Kristen di Kastilia diperingatkan untuk tidak melindungi ataupun menyembunyikan mereka di rumahnya. Selama periode ini, mereka berhak menjual semua properti yang dimiliki atau memilih untuk disita. ('Inan, 1997, h. 340) Dengan begitu, banyak orang Yahudi yang tunduk dan menyerah pada kristenisasi karena mengasihani harta dan tanah tempat tinggal mereka. Di samping itu, banyak pula yang dijebloskan ke penjara pengadilan suci hingga binasa dibakar dalam ritual auto-da-fe[1]karena tetap setia pada ajaran nenek moyangnya.

Begitu pula yang terjadi pada umat Muslim Spanyol pasca penyerahan kota Granada. Pada tahun 1502, terjadi upaya untuk melakukan kristenisasi seluruh umat Muslim Spanyol seiring semangat reconquista orang-orang Kristen (Fernández y González, 1985). Konversi paksa tersebut terus dilakukan oleh tiga kerajaan Kristen, yaitu Kastilia, Navarre dan Aragon.

Literatur Islam tidak jarang mendeskripsikan insinerator Dewan Inkuisisi atau pembakaran umat Muslim karena tuduhan tidak senonoh dan tidak bermoral. Mereka yang lebih memilih untuk tinggal di tanah air dan dipaksa konversi agama pun tidak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk penganiayaan. Hal itu karena bangsa Moriscos atau Arab Kristen selalu menjadi objek kebencian dan kecurigaan. Umat Kristen Spanyol menolak untuk mengajak mereka bergabung ke dalam kelompoknya, dan Gereja Spanyol tidak percaya akan dedikasi mereka terhadap agama baru yang dianut, justru khawatir suatu saat mereka akan kembali murtad.

Dengan demikian, kebijakan Gereja Spanyol tersebut jauh dari praktik kristenisasi Muslim yang sebenarnya, melainkan bertujuan untuk memusnahkan mereka, menghapus jejak dan agama serta peradaban mereka.

Faktanya, bangsa Moriscos tetap setia pada ajaran agama nenek moyangnya. Dan Gereja, meskipun dengan upaya yang sangat besar, tetap tidak dapat membawa mereka kepada kesetiaan agama yang diperoleh melalui paksaan, hingga penganiayaan yang terus berlanjut. Begitulah yang disebutkan oleh sejarawan Spanyol, Luis del Mármol Carvajal, (Carvajal, 2001) ia menggambarkan kehidupan Moriscos di lingkungan kota Granada yang selalu merasa keberatan dengan agama baru yang dianut, jika mereka pergi misa pada hari Minggu, itu hanya demi menjaga tradisi dan ketertiban, dan mereka tidak pernah jujur pada saat pengakuan dosa. Sementara di hari Jumat mereka mandi, memakai hijab dan melakukan salat dalam rumah-rumah mereka yang tertutup. Saat anak-anak mereka pulang, mereka memandikannya dengan air panas dan memanggil mereka dengan nama Arab. Begitu juga pada pesta pernikahan, mempelai wanita kembali dari gereja usai mengikuti pemberkatan, lalu menanggalkan pakaian Kristennya dan mengenakan pakaian Arab, kemudian mengadakan pesta sesuai dengan tradisi Arab.

Bagaimanapun, dalam bayang-bayang kristenisasi di Spanyol, bangsa Moriscos tetap memiliki keterikatan terhadap keyakinan lama mereka, dan mempraktikkan ritual Islam secara diam-diam. Di sisi lain mereka mencari semua cara dan alasan hukum yang dapat membenarkan perilaku mereka, meski terpaksa mengikuti syiar agama Kristen.


Embarkasi Moriscos di pelabuhan Grao di Valence.


Hampir semua peneliti yang mempelajari sejarah Moriscos di Semenanjung Iberia setuju bahwa orang-orang Andalusia yang terpaksa masuk agama Kristen telah menjalani kehidupan yang samar dan unik, dimana mereka bertahan pada dualisme akidah yang menggabungkan perpindahan paksa mereka ke agama Kristen dan kesetiaan abadi mereka kepada Islam, sehingga mereka hidup berpura-pura memeluk agama Kristen secara zahir dan menjadi Muslim secara batin (taqiyah).

Diantara sejarawan ada yang membenarkan pengusiran orang-orang Moriscos dari Semenanjung Iberia pada 1609 karena kepatuhan dan kesetiaan mereka pada Islam, bahkan raja dan gereja kehilangan harapan untuk mengubahnya menjadi umat Katolik yang taat kepada negara Spanyol. Adapun salah satu rahasia keteguhan mereka adalah karena desakan dari mufti dan ulama Maroko seperti fatwa Syekh Ahmad Al-Wansharisi (w. 1508) yang menyatakan bahwa seorang Muslim seharusnya tak menetap di sebuah negara saat para penguasanya melarang ajaran Islam. Selain itu, al-Wansharisi menekankan bahwa telah terpenuhi sebab-sebab untuk berhijrah, karena rukun Islam dan Iman sama sekali tidak bisa dipraktikkan dibawah kekuasaan Gereja Spanyol, ditambah umat Muslim menghadapi segala bentuk penyiksaan dan penderitaan, oleh karena itu wajib bagi mereka beremigrasi meninggalkan negaranya. (Al-Wansharisi, 1981, h. 138) Fatwa ini cenderung keras dan tak luput dari perdebatan sebagian ulama seperti Husein Mu’nis, ia mengkritik fatwa al-Wansharisi, yang seolah tidak memperhatikan kondisi Muslim Moriscos kesulitan untuk meninggalkan tanah air yang telah ditaklukkan oleh nenek moyang mereka beberapa abad lalu. Bahkan mayoritas mereka terbilang lemah dan tidak mampu untuk berhijrah, sementara al-Wansharisi menghukumi mereka yang tetap bertahan akan masuk neraka, seandainya ia mengambil asal hukum dari hadist Nabi SAW: “Akan tiba suatu masa pada manusia, siapa diantara mereka yang bersikap sabar demi agamanya, ia ibarat menggenggam bara api[2], maka terlepaslah mereka dari belenggu kekafiran. (Mu’nis, 1957, h. 132)

Adapun fatwa jenis kedua dianggap bertendensi fleksibel dan toleran, yaitu berasal dari Grand Mufti Oran, Abu Abbas Ahmad bin Abi Jum’ah al-Maghrawi al-Wahrani (w. 1534) atau kemudian dikenal dengan Fatwa Oran, ialah fatwa yang membolehkan Muslim Spanyol agar secara diam-diam mempraktikkan Islam, dan memberikan dispensasi komprehensif bagi mereka menyesuaikan diri dengan agama Kristen dan memungkinkan mereka melakukan tindakan yang dalam kondisi normal dilarang Islam dengan alasan bertahan hidup.

 

§  Penerjemahan Risalah Fatwa Oran ke Dalam Bahasa Aljamiado

Fatwa Abu Jum’ah al-Maghrawi ditujukan utamanya kepada umat Muslim di Kerajaan Granada dan Castile, karena dua wilayah tersebut merupakan awal kemunculan upaya kristenisasi paksa pada saat itu.

Sejauh ini para sejarawan telah menemukan tiga salinan dari risalah fatwa tersebut:

1.     Salinan pertama terdapat dalam kumpulan manuskrip Borgiani di Perpustakaan Vatikan (Biblioteca Apostolica Vaticana) yang ditemukan oleh Sarjana Mesir, Muhammad Abdullah ‘Inan selama penelitian di Roma, Italia, dan diterbitkan pada tahun 1958 dalam bukunya: “The End of Andalusia and the History of the Advocated Arabs.” (‘Inan, 1997, h. 342-344) Tampaknya sejarawan Inggris Harvey menemukan versi bahasa Arab yang sama, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1962 dalam rangka konferensi pertama Studi Islam Cordoba.

2.     Salinan kedua adalah terjemahan berbahasa Aljamiado, ditemukan di Royal Academy di Madrid, dan sebagian diterbitkan dalam Bahasa Kastilian oleh sejarawan Pedro Longas pada tahun 1915 dalam bukunya “La Vida Religiosa de Los Moriscos”. Diyakini bahwa salinan tersebut diterjemahkan pada tahun 1563 M. (Longas, 1989, h. 305-307)

3.     Salinan ketiga juga merupakan terjemahan dalam Bahasa Aljamiado, ditemukan di Perpustakaan Les Méjanes di Aix-en-Provence, Prancis. (Stewart, h. 266-267) Salinan ini diterjemahkan pada Desember 1503. Kemudian diterbitkan oleh sejarawan Prancis Cantino di majalah "Koran Asia" pada tahun 1927.

 

Peneliti Spanyol Maria Jesus Rubiera Mata mengatakan bahwa risalah fatwa Abu Jum’ah al-Maghrawi ditulis pada tahun 1504 dalam bahasa Arab, dan dibawa ke Semenanjung Iberia melalui Valencia, yang pelabuhannya merupakan jalur bagi mereka yang datang dari dan ke Andalusia. Kemudian ditulis ulang oleh Mudéjar Aragon pada dekade kedua abad ke-16, dan dibawa ke Aragon dengan teks Arab lainnya. Ketika Kristenisasi diberlakukan pada Muslim Aragon (tahun 1526 M) dan dimulainya tekanan dari Inkuisisi, Moriscos menerjemahkan fatwa tersebut ke dalam bahasa Spanyol dalam huruf Arab (Aljamiado) pada tahun 1563 M. Dan saat ini salinan tersebut masih tersimpan di Madrid.

Pada tahun 1609 M, dan tidak lama sebelum pengusiran terakhir dari Andalusia, beberapa Moriscos Aragon menerjemahkan ulang fatwa tersebut ke dalam Aljamiado, dan salinan tersebut saat ini disimpan di Perancis.

 

§  Isi Teks Fatwa Oran



Fatwa Oran dikeluarkan oleh Mufti Abu Jum’ah al-Maghrawi pada tanggal 1 Rajab tahun 910 H bertepatan dengan tanggal 18 November tahun 1504 M, yang berarti 12 tahun setelah jatuhnya Granada, karena kampanye kejam terhadap Andalusia meningkat selama pemerintahan Isabella dan Ferdinand. Fatwa tersebut ditulis dengan tujuan memberikan kelonggaran bagi mereka yang berpura-pura mengikuti agama Katolik, melanggar larangan-larangan syariat, dan tidak menyempurnakan kewajiban seperti salat, wudhu, zakat, dan lainnya dalam keadaan terpaksa.

Adapun risalah fatwa ini dimulai dengan ungkapan puji dan syukur kepada Allah dan salawat kepada Rasulullah SAW. kemudian pujian kepada Moriscos Andalus yang berpegang teguh pada agama Allah seperti pencengkeram bara api sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi, sebab kesabaran dan keteguhan mereka dalam beriman dengan menanggung pedihnya siksaan, hingga menembusnya dengan mengorbankan harta dan anak-anak mereka karena mengharap ridha Allah SWT. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai surgaNya, mereka adalah orang-orang yang asing dari agama, namun senantiasa dekat dengan ridha Allah dan ampunanNya, karena mereka pewaris para Nabi dalam menghadapi ujian, dan sabar dalam menanggung kepedihan.

Berikut adalah terjemahan teks fatwa Oran sebagaimana tercantum dalam kitab "Dawlat al-Islam fi al-Andalus(‘Inan, 1997, h. 342-344):

(Segala puji bagi Allah, dan semoga berkah dan damai atas tuan kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saudara-saudara kita yang memeluk agama mereka, seperti pencengkeram bara api, mereka yang telah diberi pahala oleh Tuhan dengan apa yang mereka temui dalam Dzat-Nya, mendidik jiwa bersabar dalam keridhaan-Nya, orang asing yang dekat, insya Allah, dari lingkungan Nabi-Nya di surga tertinggi dari surgaNya, dan mereka mewarisi jalan leluhur yang saleh untuk menanggung kesulitan bahkan jika jiwa mencapai kerongkongan. Kami memohon agar Allah senantiasa berbaik hati kepada kami dan agar membantu kami dan Anda dalam mematuhi hak-Nya dengan itikad baik dan ketulusan, dan agar menunjukkan jalan keluar bagi kami dan Anda dari setiap masalah dan setiap kesulitan.

Setelah mengucap salam sejahtera menyertai Anda, dari yang menuliskannya untuk Anda, dari hamba Tuhan, bahkan lebih rendah dari para hamba-Nya dan yang paling membutuhkan pengampunannya, hamba Ahmed Ibn Boujum’ah Al-Maghrawi, kemudian Al-Wahrani.

Tuhan senantiasa ada bersama umatnya dengan segala kebaikan dan kerahasiaannya, aku meminta kepada Anda ketulusan doa, agar diberikan akhir yang baik, dan keselamatan dari negeri yang menakutkan, serta bergaul dengan mereka yang telah diberkati Tuhan dari antara orang-orang yang benar, menegaskan Anda dalam kepatuhan pada agama Islam, dan menyampaikan syiar tersebut kepada anak-anak Anda. Jika Anda tidak takut bahwa kejahatan akan masuk karena memberi tahu musuh Anda tentang kawanan Anda, maka bahagialah orang-orang asing yang berbuat kebaikan manakala manusia sedang berbuat kerusakan, dan sungguh mengingat Allah diantara yang lalai bagaikan hidup di antara yang mati, maka ketahuilah bahwa berhala adalah ukiran kayu, dan batu besar yang tidak berbahaya dan tidak berguna, dan bahwa kerajaan adalah milik Tuhan, Ia tidak mempunyai anak, dan tidak memiliki Tuhan. Maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam menyembahNya, salatlah meskipun itu dengan isyarat, dan berzakatlah walaupun dengan bertindak dermawan kepada pengemis, karena Tuhan tidak melihat sikap Anda, tetapi melihat hati Anda, dan bersucilah setelah junub bahkan dengan cara menyemplung ke dalam lautan. Dan jika Anda dicegah, maka salatlah di malam hari sebagai ganti siang (qadha), dan Anda harus melakukan tayamum bahkan jika Anda menyeka dinding dengan tangan Anda. Jika tidak menemukan air atau debu maka gugurlah salat sesuai riwayat yang masyhur, kecuali memungkinkan Anda melakukannya dengan isyarat, sebagaimana Ibnu Naji at-Tanukhi mengutipnya dalam kitab ‘Syarh ar-Risalah’: “Hendaklah kalian laksanakan semampu kalian”.

Dan jika mereka memaksa Anda selama waktu salat untuk bersujud kepada berhala atau menghadiri salat mereka, maka tentanglah dengan niat, dan lakukan niat salat seperti yang disyariatkan, dan merujuk pada apa yang mereka sebut sebagai berhala, sedangkan yang Anda maksud adalah Allah. Dan jika pada selain kiblat maka salatlah sebagaimana Anda salat dalam keadaan khauf. Dan jika mereka memaksa Anda untuk minum anggur, minumlah tanpa niat menikmatinya atau kesenangan pribadi. Dan jika mereka memaksa untuk memakan babi, makanlah dengan isyarat ingkar dalam hati, dan meyakini keharamannya, sebagaimana pula jika mereka memaksa untuk melakukan perkara yang haram. Dan jika mereka menikahkan putrinya dengan Anda, maka boleh karena mereka adalah golongan ahli kitab, dan jika mereka memaksa untuk menikahkan putri Anda dengan mereka, pikirkanlah bahwa itu dilarang bahkan tanpa paksaan, dan bahwa Anda menyangkalnya di dalam hati Anda, dan jika Anda menemukan kekuatan, Anda akan mengubahnya.

Begitu juga jika mereka memaksa melakukan riba atau perbuatan terlarang, lakukanlah dengan menyangkalnya di dalam hati, Anda hanya perlu menyedekahkan sisa uang tersebut jika Anda bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan jika mereka memaksa mengucapkan kalimat kufur, jika Anda bisa memberi tanda baca dan teka-teki, maka lakukanlah, jika tidak, yakinkan hati Anda dengan menyangkal hal itu, dan jika mereka memaksa untuk mencaci Muhammad, maka sebutlah (Mumad), karena mereka mengucapkannya seperti itu, kemudian menghina seperti biasa, dengan maksud bahwa itu adalah Setan, atau Mumad nya orang-orang Yahudi, begitu banyak dari mereka yang memiliki nama tersebut. Dan jika mereka mengatakan Yesus mati oleh penyaliban, maka niatkanlah sebagai bentuk kehormatan terhadap kematian, penyaliban dan menunjukkan pujian untuknya di hadapan orang-orang, tetapi sesungguhnya Allah telah mengangkat Nabi Isa kepada-Nya. Apa-apa yang menyulitkan Anda, kirimkan kepada kami, kami akan membimbing Anda, Insya Allah, sesuai dengan apa yang Anda tulis. Dan aku memohon agar Allah senantiasa menggiring bola kepada Islam sehingga Anda secara terbuka dapat menyembah Tuhan dengan tanpa kesulitan dan ketakutan.

Kami bersaksi bahwa Anda percaya kepada Allah dan ridha kepada-Nya, damai sejahtera bagi Anda semua.

Pada hari pertama Rajab di tahun sembilan ratus sepuluh, dan semoga Allah mengetahui apa yang baik.

Risalah ini menjangkau orang asing, Insya Allah.)

 

 

Demikianlah bagaimana bangsa Moriscos terpaksa berpura-pura menjadi Kristen sebab takut akan investigasi yang digencarkan oleh Dewan Inkuisisi Spanyol dengan membunuh dan membakar siapa pun yang menunjukkan tanda-tanda Muslim atau Arab, sampai-sampai mereka mengubah nama mereka, dan beberapa diantaranya lebih suka beremigrasi ke Afrika Utara dan negara-negara Arab, seperti yang dilakukan oleh Ahmad ibn Qasim al-Hajari, ketakutan yang ia alami tersebut kemudian ditorehkan dalam bukunya “Nashir ad-Din ‘ala al-Qawmi al-Kafirin”, dan “Rihlat as-Syihab ila Liqa’ al-Ahbab”, yang menjadi dokumen sejarah terpenting yang merekam evakuasi Muslim dari Andalusia, antara tahun 1609 sampai 1614 M.

 



[1] Auto-da-fé merupakan istilah yang dipakai sebagai praktik ritual penebusan dosa publik yang diterapkan pada abad ke-15 sampai 19 M terhadap orang-orang yang dituduh melakukan bidah dan mutad oleh Inkuisisi Spanyol dan Portugis. Bentuk hukuman fisiknya seperti dicambuk, disiksa dan paling ekstrem dibakar di tiang pancang.

[2] Hadits diriwayatkan oleh at-Tarmidzi dari Anas bin Malik, dalam kitab Sunan at-Tarmidzi, juz IX, h. 4, no. 2428.




 

Daftar Pustaka

1.     ‘Inan, Muhammad Abdullah. Dawlat al-Islam fi al-Andalus: Nihayat al-Andalus wa Tarikh al-‘Arab al-Muntashirin, Cet. IV, (Maktabah al-Muhtadin al-Islamiyah li Muqaranat al-Adyan, 1997).

2.     Al-Wansharisi, Ahmad. Al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa ‘Ulama Ifriqiyya wa al-Andalus wa al-Maghrib, jilid 2, (Beirut: Dar el-Gharb el-Islami, 1981).

3.     Carvajal, Luis del Marmol. Historia del rebelión y castigo de los moriscos del Reino de Granada, (Biblioteca de la Universidad de Alicante, 2001).

4.     Longas, Pedro. La Vida Religiosa de Los Moriscos, (1989).

5.     Mu’nis, Husein. “Asna al-Matajir fi Man Ghalaba ‘ala Wathanihi an-Nashara wa lam Yuhajir”, Jilid 6, dalam Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyah Madrid, (1957).

6.    Stewart, Devin. “The Identity of the Mufti of Oran, Abu al-Abbas Ahmad b. Abi Jum’ah al’Maghrawi al-Wahrani”, Al Qantara, Madrid, 27 (2).

7.    Fernández y González, Estado social y político de los mudéjares de Castilla, (Madrid, 1985).

« PREV
NEXT »

No comments