Begitu kentalnya praktik hukum yurisprudensi Islam (fikih) dengan haluan mazhab Maliki di Maroko dan Andalus, itu karena sejarahnya kitab Muwatha' karya Imam Malik lebih dulu masuk ke wilayah Gharb Islam ini. Bahkan, kitab-kitab sunnah terkemuka pedoman kedua setelah Al-Quran seperti Shahih Bukhari datang belakangan. Bukan karena masyarakat dan ulamanya tidak peduli, tetapi karena Imam Malik sudah mewanti-wanti untuk tidak berkecimpung lebih dalam tentang persoalan riwayat, agar tidak bercampur antara hadits satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, kecondongan mereka dalam bidang fikih terutama fikih Maliki lebih kuat kala itu.
Namun, bukan berarti menolak, justru ketika Ibn Waddah al-Qurtuby (w. 286H /899M) kembali ke Andalus setelah rihlah panjangnya dalam mendalami sanad-sanad hadits di masyriq (Timur), ia dianggap berhasil membuka arah baru keilmuan Islam di Andalus, banyak masyarakat yang mendengarkan hadits dan mengambil sanad darinya, ia bersama Baqi ibn Makhlad al-Qurtuby (w. 276H /889M) sebagai orang pertama yang membawa substansi ilmu hadits kemudian dijuluki sebagai pemrakarsa Madrasah Hadits di Andalus.
Baqi ibn Makhlad al-Qurtuby kembali ke Andalus dengan membawa sanad hadits dari gurunya, Abu Bakr ibn Abi Syaibah. Ia pun mengajarkan dan menjelaskan pentingnya disiplin ilmu hadits secarah riwayah ataupun dirayah. Dengan begitu, ia telah berhasil membuat transisi dalam sejarah Andalus yang mulanya mempelajari hukum Maliki ke mempelajari hadits.
Tapi, tidak sedikit juga diantara mereka yang fanatik buta menentang masuknya kajian hadits di Andalus, seperti perkataannya seorang ahli fikih Andalusia bernama Asbagh ibn Khalil al-Qurtuby (w. 273H):
لأن يكون في تابوتي رأس خنزير أحب إلي من أن يكون فيه مسند ابن أبي شيبة, artinya: "Aku lebih suka peti matiku diisi kepala babi ketimbang kitabnya (musnad) Ibn Abi Syaibah"
Beberapa dekade setelah itu, banyak ulama Andalus yang juga tertarik untuk mempelajari hadits dan mengambil sanad langsung ke banyak perawi di Timur, diantara mereka yang masyhur adalah: Muhammad ibn Yahya ibn Zakaria ibn Barthal al-Qurtuby, Abdullah al-Juhany at-Thulaithuli, dan Abdullah ibn Ibrahim ibn Muhammad al-Ashili. Mereka bertiga lah yang dianggap pertama kali membawa dan menyebarkan kitab Shahih Bukhari di Andalus.
Saat ini, di beberapa kampus kita sering menjumpai sebagian dosen atau bahkan ulama hadits yang cenderung menempatkan kitab al-Muwatha' karya Imam Malik sebagai kitab hadits pertama dalam jajaran al-Kutub as-Sittah, alias kitab tershahih di dunia setelah Al-Quran. Wajar, karena sejarahnya mereka lebih dulu mengenal kitab tersebut sebelum munculnya kitab Shahih Bukhari di Maroko dan Andalus.
Referensi:
Housaisin, Abdelhadi. Madzhāhir an-Nahdhah al-Hadītsiyyah fī 'ahdi Ya'kūb al-Manshūr al-Muwahhidī, jilid 1, 1983.
al-Yahshubi, Al Qadi 'Iyâd. Tartīb al-Madārik, jilid 3 dan 4, Rabat, 1983.
Rustum, Zainal Abidin. As-Shahīhān fî al-Andalus min al-Qarn al-Khāmis ila al-Qarn at-Tsāmin al-Hijri, Lebanon, 2010.